Home

Kamis, 21 Juni 2012

ASSESSMENT DALAM BK


PENGGUNAAN HASIL ASSESSMENT DALAM BK

Oleh: 
Hengki Yandri, Zulfikar, Yeni Satroma Dewi

A.      Pendahuluan
Asesmen merupakan salah satu kegiatan  pengukuran. Dalam konteks bimbingan konseling, asesmen yaitu mengukur suatu proses konseling yang harus dilakukan konselor  sebelum, selama, dan setelah konseling tersebut dilaksanakan/ berlangsung (Ratna Widiastuti, 2010). Asesmen merupakan salah satu bagian terpenting dalam seluruh kegiatan yang ada dalam konseling (baik konseling kelompok maupun konseling individual). Karena itulah asesmen dalam bimbingan dan konseling merupakan bagian yang terintegral dengan proses terapi maupun semua kegiatan bimbingan dan konseling itu sendiri. Asesmen dilakukan untuk menggali dinamika  dan faktor penentu yang mendasari munculnya masalah. Hal ini sesuai dengan tujuan asesmen dalam bimbingan dan konseling, yaitu mengumpulkan informasi yang memungkinkan bagi konselor untuk menentukan masalah dan memahami latar belakang serta situasi yang ada pada masalah klien. Asesmen yang dilakukan sebelum, selama dan setelah konseling berlangsung dapat memberi informasi yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah yang dihadapi klien. Dalam prakteknya, asesmen dapat digunakan sebagai alat untuk menilai keberhasilan sebuah konseling, namun juga dapat digunakan sebagai sebuah terapi untuk menyelesaikan masalah klien.

Asesmen merupakan kegiatan untuk mengukur seberapa jauh kemampuan/ kompetensi yang dimiliki oleh klien dalam memecahkan masalah.  Asesmen yang dikembangkan adalah asesmen yang baku dan meliputi  beberapa aspek yaitu kognitif, afektif, dan psikomotor dalam kompetensi dengan menggunakan indikator-indikator yang  ditetapkan dan dikembangkan  oleh  Guru BK/ Konselor sekolah. Asesmen yang diberikan kepada klien merupakan pengembangan  dari area kompetensi dasar pada diri klien yang akan dinilai, yang kemudian akan dijabarkan dalam bentuk indikator-indikator. Pada umumnya asesmen bimbingan konseling dapat dilakukan dalam bentuk laporan diri, performance test, tes psikologis, observasi, wawancara, dan sebagainya.
Dalam pelaksanaannya, asesmen merupakan hal yang penting dan harus  dilakukan dengan berhati-hati sesuai dengan kaidahnya. Kesalahan dalam mengidentifikasi masalah karena asesmen yang tidak memadai  akan menyebabkan tritmen gagal; atau bahkan dapat memicu munculnya konsekuensi dari tritmen yang merugikan diri klien.  Meskipun menjadi dasar dalam melakukan tritmen pada klien, tidak berarti konselor harus menilai (to assess) semua latar belakang dan situasi yang dihadapi klien pada saat itu jika tidak perlu. Kadangkala konselor menemukan bahwa ternyata   “hidup” klien sangat menarik. Namun demikian tidaklah efisien dan tidak etis untuk menggali semuanya selama hal tersebut tidak relevan dengan tritmen yang diberikan untuk mengatasi masalah klien. Karena itu, setiap guru pembimbing/ konselor perlu berpegang pada pedoman pertanyaan sebelum melakukan asesmen; yaitu “Apa saja yang perlu kuketahui mengenai klien?”. Hal itu berkaitan dengan apa saja yang relevan untuk mengembangkan intervensi atau tritmen yang efektif, efisien, dan berlangsung lama bagi klien.

B.       Fungsi Assesmen dalam BK
Hood & Johnson (1993) menjelaskan ada beberapa fungsi asesmen, diantaranya adalah untuk:
1.  Menstimulasi klien maupun konselor mengenai berbagai isu permasalahan
2.  Menjelaskan masalah yang senyatanya
3.  Memberi alternatif solusi untuk masalah
4.  Menyediakan metode untuk memperbandingkan alternatif sehingga dapat diambil keputusan
5.  Memungkinkan evaluasi efektivitas konseling
Selain itu, asesmen juga diperlukan untuk memperoleh informasi yang membedakan antara apa ini (what is) dengan apa yang  diinginkan (what is desired) sesuai dengan kebutuhan dan hasil  konseling.
Asesmen memiliki hubungan yang sangat signifikan dengan perencanaan dan pelaksanaan model-model pendekatan konseling. Jika kedua komponen tersebut didesain dengan pendekatan “client centered” atau “bottom up”,  asesmen akan mengarah pada inovasi. Hal ini memiliki makna bahwa  asesmen tidak hanya berorientasi pada hasil/ produk akhir, tetapi justru akan lebih terfokus pada proses konseling, yaitu mulai dari membuka konseling sampai dengan mengakhiri konseling; atau setidak-tidaknya akan ada keseimbangan antara proses konseling dengan  hasil konseling. Dengan demikian asesmen akan benar-benar bisa memenuhi kriteria objektivitas dan keadilan, sehingga keputusan yang akan diambil oleh klien dapat benar-benar sesuai dengan kemampuan diri  klien itu sendiri.
Asesmen yang tidak dilakukan secara objektif, akan berpengaruh pada pelayanan konseling oleh konselor sekolah/ Guru BK.  Hal ini akan berakibat tidak baik pada diri klien, bahkan terhadap konselor itu sendiri untuk  jangka panjang maupun jangka pendek. Asesmen dalam bimbingan dan konseling adalah asesmen yang berbasis individu dan  berkelanjutan. Semua indikator bukan diukur dengan soal seperti dalam pembelajaran, tetapi diukur secara kualitatif, kemudian hasilnya dianalisis untuk mengetahui kemampuan klien dalam mengambil keputusan pada akhir konseling, dalam melaksanakan keputusan setelah  konseling, serta melihat kendala/ masalah yang dihadapi klien dalam proses konseling maupun kendala dalam melaksanakan keputusan yang telah ditetapkannya.

C.      Ruang Lingkup Assesmen
Hood & Johnson (1993) menjelaskan ruang lingkup dalam asesmen (assesment need areas) dalam bimbingan dan konseling ada lima, yaitu:
1.   Systems assessment, yaitu asesmen yang dilakukan untuk mendapatkan informasi mengenai  status dari suatu sistem, yang membedakan antara apa ini (what is it) dengan apa yang  diinginkan (what is desired) sesuai dengan kebutuhan dan hasil konseling; serta tujuan yang sudah dituliskan/ ditetapkan atau outcome yang diharapkan dalam konseling.
2.    Program planning, yaitu perencanaan program untuk memperoleh informasi-informasi yang dapat digunakan untuk membuat keputusan dan untuk menyeleksi bagian–bagian program yang efektif dalam pertemuan-pertemuan antara konselor dengan klien; untuk mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan khusus pada tahap pertama. Di sinilah muncul fungsi evaluator dalam asesmen, yang memberikan informasi-informasi  nyata  yang potensial. Hal inilah yang kemudian membuat asesmen menjadi efektif, yang dapat membuat klien mampu  membedakan  latihan yang dilakukan pada saat konseling dan penerapannya di kehidupan
nyata dimana
klien harus membuat suatu keputusan, atau memilih alternatif-altenatif yang dapat digunakan untuk menyelesaikan masalahnya.
 3. Program Implementation, yaitu bagaimana asesmen dilakukan untuk menilai pelaksanaan program dengan memberikan informasi-informasi nyata; yang menjadikan program-program tersebut dapat dinilai apakah sesuai dengan pedoman.
4.  Program Improvement, dimana asesmen dapat digunakan dalam dalam perbaikan program, yaitu yang berkenaan dengan: (a) evaluasi terhadap informasi-informasi yang nyata, (b) tujuan yang akan dicapai dalam program, (c)  program-progam yang berhasil, dan (d) informasi-informasi yang mempengaruhi proses pelaksanaan program-program yang lain.
5.     Program certification, yang merupakan akhir kegiatan. Menurut Center for the Study of Evaluation (CSE), program sertifikasi adalah suatu evaluasi sumatif, hal ini memberikan makna bahwa pada akhir kegiatan akan  dilakukan evaluasi akhir  sebagai dasar untuk memberikan sertifikasi kepada klien. Dalam hal ini evaluator berfungsi  pemberi informasi mengenai hasil evaluasi yang akan digunakan  sebagai dasar untuk mengambil keputusan.

D.   Tujuan Asesmen
Hood & Johnson (1993) menjelaskan bahwa asesmen dalam bimbingan dan konseling mempunyai beberapa tujuan, yaitu:
1.    Orientasi masalah, yaitu untuk membuat klien mengenali dan menerima permasalahan yang dihadapinya, tidak mengingkari bahwa ia bermasalah
2.    Identifikasi masalah, yaitu membantu baik bagi klien maupun konselor dalam mengetahui masalah yang dihadapi klien secara mendetil
3.    Memilih alternatif solusi dari berbagai alternatif penyelesaian masalah yang dapat dilakukan oleh klien
4.    Pembuatan keputusan alternatif pemecahan masalah yang paling menguntungkan dengan memperhatikan konsekuensi paling kecil dari beberapa alternatif  tersebut
5.    Verifikasi untuk menilai apakah konseling telah berjalan efektif dan telah mengurangi beban masalah klien atau belum
Selain itu, asesmen digunakan pula untuk menentukan variabel pengontrol dalam permasalahan yang dihadapi klien, untuk memilih/ mengembangkan intervensi  terhadap area yang bermasalah, atau dengan kata lain menjadi dasar untuk mendesain dan mengelola terapi, untuk membantu mengevaluasi intervensi, serta untuk menyediakan informasi yang relevan untuk pertanyaan-pertanyaan  yang muncul untuk setiap fase konseling.
Pada asesmen berbasis individu, asesmen dipakai  untuk mengumpulkan informasi asli atau autentik mengenai  klien sehingga diperoleh informasi menyeluruh tentang diri klien secara utuh, dan untuk memberikan penilaian yang objektif. Selain itu, secara terperinci asesmen berbasis individu  bertujuan untuk:
1.    Mengembangkan cara klien merespon (verbal dan/atau non verbal) pertanyaan-pertanyaan yang disampaikan oleh guru BK.
2.    Melatih klien untuk  berpikir dalam upaya pemecahan masalah
3.    Membentuk kemandirian klien dalam berbagai masalah atau membentuk  individu  menjadi mandiri.
4.    Melatih klien mengemukakan apa yang dipikirkan dan apa yang dirasakan melalui proses konseling.
5.    Membentuk individu yang terbuka  dalam berbagai hal, termasuk membuka diri dalam konseling.
6.    Membina kerjasama yang baik dalam memecahkan masalah yang dihadapi.                                                  
7.    Membelajarkan klien untuk menilai terhadap cara melaksanakan keputusannya secara konsekuen.
Asesmen berbasis individu akan  mengukur seluruh kemampuan klien, baik keterampilan personal (personal skills), keterampilan social (social skills), keterampilan memecahkan masalah (problem solving skills), dan keterampilan memilih alternative (Choice alternative  skills). Jika hal ini dilakukan maka asesmen akan dapat:
1.    Membantu sekolah dan guru dalam melaksanakan pembelajaran  karena klien sebagai siswa dapat berkonsentrasi dalam mengikuti pembelajaran,
2.    Memudahkan guru  dalam pembelajaran di kelas karena siswa tidak banyak masalah,
3.    Memudahkan guru bimbingan dan konseling dalam melaksanakan tugas bimbingan dan konseling –  khususnya dalam konseling,
4.    Membantu kepala sekolah dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah,
5.    Mendorong klien  untuk memanfaatkan layanan bimbingan dan konseling dalam berbagai hal (seperti mendapatkan informasi studi, pekerjaan, dan memecahkan  masalah (masalah pribadi, sosial, belajar, dan karir), dan
6.    Menyajikan informasi berkesinambungan tentang kegiatan kegiatan layanan bimbingan dan konseling.

E.   Interpretasi  Asesmen
Jika hanya dilihat dari ‘mata’ awam, sebenarnya data asesmen tidak menyuarakan apa-apa. Data dalam asesmen hanya berarti jika dilihat bersamaan dengan data-data lain; yaitu penampilan individu yang menjadi klien, kriteria penampilan yang dipakai untuk asesmen, atau norma yang dipakai untuk menentukan posisi klien disandingkan dengan kriterianya. Jika dibahas lebih lanjut, maka ada beberapa pendekatan yang digunakan untuk ‘membaca’ data yang didapat dari asesmen, diantaranya adalah:
  1. Pendekatan client-referenced
Satu asesmen penampilan klien disandingkan dengan penampilan klien yang bersangkutan, dan arti didapat dari seberapa baik skor penampilan-penampilan tersebut dikaitkan; misal  dengan memberikan pre test dan post test saat melakukan tritmen tertentu pada klien
  1. Pendekatan criterion-referenced
Asesmen penampilan klien disandingkan dengan standar  penampilan, dan arti didapat dari seberapa dekat skor klien dengan standar penampilan
  1. Pendekatan norm-referenced
Asesmen penampilan  klien disandingkan dengan penampilan kelompok referensi yang sesuai, dan arti didapat dari posisi skor klien dengan penampilan kelompok referensi.

F.    Langkah-langkah Asesmen
Apapun bentuk dan jenis asesmen yang dilakukan, hal ini tetap menuntut suatu perencanaan, termasuk pada saat melakukan analisis. Dengan demikian maka akan diperoleh alat ukur atau instrumen yang benar-benar dapat diandalkan (valid) dan  dapat dipercaya (reliabel) dalam mengukur apa yang seharusnya diukur. Berikut ini adalah langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam melakukan asesmen:
1.    Perencanaan
Aspek yang harus ada dalam perencanaan asesmen  adalah:
a.    Memilih fokus asesmen pada aspek tertentu dari diri klien
Salah satu penentu keberhasilan konseling adalah kemauan dan kemampuan klien itu sendiri. Dalam konseling, keputusan akhir untuk pemecahan masalah yang dihadapi ada pada diri klien. Konselor/ guru BK bukan pemberi nasihat, bukan pengambil keputusan mengenai apa yang harus dilakukan  klien dalam memecahkan masalah yang dihadapinya.
Karena itu, untuk keberhasilan konseling, klien dapat bekerjasama dengan guru BK/konselor, dan dengan bantuan guru BK maka klien diharapkan mampu memunculkan ide-ide pemecahan masalah, dan klien memiliki keberanian serta kemampuan untuk mengambil keputusan, mampu memahami diri sendiri,  dan mampu menerima dirinya sendiri. Berdasarkan  hal tersebut di atas, maka konselor menentukan akan melakukan asesmen  dengan memfokuskan  pada salah satu aspek  dalam diri klien saja. 
 b.   Memilih instrumen   yang akan digunakan.
Setelah ditentukan fokus area asesmen, Anda dapat merencanakan instrumen yang akan digunakan dalam asesmen. Banyak instrumen yang dapat digunakan dalam asesmen seperti tes psikologis, observasi, inventori, dan sebagainya. Tetapi untuk menentukan instrumen sangat  tergantung pada aspek apa yang akan diasesmen. Misalnya Anda akan melihat kerjasama klien dalam konseling, maka instrumen dapat menggunakan checklist, tetapi apabila Anda memfokuskan  asesmen tentang kemampuan klien dalam memecahkan masalah, maka Anda dapat  mempergunakan tes psikologis.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam memilih instrumen dalam asesmen diantaranya yaitu: (1) kemampuan guru BK sendiri, (2) kewenangan guru BK (baik dalam mengadministrasikan maupun dalam interpretasi hasilnya), (3) ketersediaan instrumen, (4) waktu yang tersedia, dan (5) dana yang tersedia.
c.    Penetapan waktu
Perencanaan waktu yang dimaksud adalah kapan asesmen akan dilakukan. Penetapan waktu ini sangat erat berhubungan dengan persiapan pelaksanaan asesmen. Persiapan akan banyak menentukan keberhasilan suatu asesmen, misalnya mempersiapkan  instrumen, tempat, dan peralatan lain yang diperlukan dalam pelaksanaan asesmen. Apalagi jika pelaksana asesmen tersebut bukan guru BK itu sendiri, misalnya karena instrumen yang digunakan untuk asesmen adalah tes psikologis (tes intelegensi, inventori kepribadian, tes minat jabatan, dan sebagainya). Dalam hal ini apabila guru BK tidak memiliki kewenangan, maka guru BK dapat  minta bantuan orang yang memiliki kewenangan, misalnya psikolog atau orang yang telah memiliki sertifikasi yang memberikan kewenangan untuk mengadministrasikan tes dimaksud.
d.    Validitas dan reliabilitas
Apabila instrumen yang kita gunakan adalah buatan sendiri atau dikembangkan sendiri, maka instrumen itu  perlu diuji validitas dan reliabilitasnya. Karena validitas dan reliabilitas merupakan suatu syarat mutlak  suatu instrumen asesmen.  Namun apabila kita menggunakan instrumen yang sudah terstandar, Anda tidak perlu mencari validitas dan reliabilitas karena instrumen tersebut sudah jelas  memenuhi persyaratan sebagai suatu instrumen.
 2.  Pelaksanaan             
Setelah perencanaan asesmen selesai, selanjutnya adalah bagaimana melaksanakan rencana yang telah dibuat tersebut. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam melaksanakan asesmen adalah pelaksanaannya harus sesuai dengan manual masing-masing instrumen. Manual suatu instrumen biasanya memuat:
a.         cara mengerjakan
b.        waktu yang digunakan untuk mengerjakan asesmen
c.         kunci  jawaban
d.        cara analisis
e.         interpretasi.

 3.   Analisis data
Langkah selanjutnya adalah analisis data, yaitu melakukan analisis terhadap data yang diperoleh  melalui instrumen yang digunakan untuk mengambil data. Analisis dilakukan dengan mengikuti petunjuk yang ada dalam manual masing-masing  instrumen.  Metode analisis data dalam asesmen konseling sangat tergantung data yang diperoleh. Misal data yang diperoleh berbentuk kualitatif atau data kuantitatif.
Apabila data bersifat kualitatif, maka kita melakukan analisis data kualitatif. Metode analisis data kualitatif misalnya deskriptif naratif. Wilcox (dalam Ratna Widiastuti, 2010) misalnya menggunakan pendekatan  ”key incident” dalam analisis deskripsi kualitatif tentang kegiatan pendidikan. Pendekatan key incident memungkinkan bagi kita untuk memasukkan sejumlah besar kesimpulan dari bermacam-macam data yang berasal dari berbagai sumber, misalnya dari catatan lapangan, dokumen informasi demografi, atau wawancara. Apabila banyak data kualitatif yang dianalisis sementara asesmen masih berlangsung maka beberapa analisis dapat ditunda pelaksanaannya sampai evaluator selesai melakukan asesmen. Saat melakukan analisis data kualitatif, perlu dilakukan beberapa langkah sebagai berikut: a) yakinkan semua data telah tersedia, b) buatlah salinan data untuk berjaga-jaga kalau ada yang hilang, c) aturlah data dalam judul dan masukkan dalam file, d) gunakan sistem kartu-kartu dalam map, e) periksa kebenaran hasil asesmen.
Apabila data bersifat kuantitatif maka analisis data dilakukan dengan menggunakan statistik. Dalam bimbingan konseling, statistik biasa digunakan untuk analisis data hasil tes psikologis, misalnya tes inteligensi, tes bakat, dan sebagainya. Dewasa ini, program statistik dapat dengan mudah dilakukan dengan bantuan komputer, seperti program excel, LISREL, SPSS, dan sebagainya.
 4.  Interpretasi data
Interpretasi diartikan sebagai  upaya mengatur dan menilai fakta, menafsirkan pandangan, dan merumuskan kesimpulan yang mendukung. Penafsiran harus dirumuskan dengan hati-hati, jujur, dan terbuka. Berikut ini adalah hal-hal yang harus ada dalam interpretasi, yaitu:
a.    Komponen untuk menafsirkan / interpretasi hasil analisis data
Interpretasi berarti menilai objek asesmen  dan menentukan dampak
asesmen tersebut. Pandangan evaluator juga mempengaruhi penafsiran/
interpretasi  data. Untuk asesmen yang akan digunakan  untuk membantu  fungsi pendidikan, maka hasil asesmen harus diinterpretasikan sebagai sarana untuk mengetahui kebaikan klien, dan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam tindakan berikutnya bagi orang-orang lain yang berkepentingan/ berwenang (Cronbach dalam Ratna Widiastuti, 2010)).
b.    Petunjuk untuk menafsirkan analisis data
Worthen dkk. dalam Ratna Widiastuti, 2010) menyatakan bahwa para evaluator telah mengembangkan metode yang sistematik untuk melakukan interpretasi.  Diantara metode-metode tersebut yang sering dipakai akhir-akhir ini adalah:                      (1) menentukan apakah tujuan telah dicapai, (2) menentukna apakah hukum, norma-norma, demokrasi aturan, dan prinsip-prinsip etik tidak dilupakan, (3) menentukan apakah analisis kebutuhan telah dikurangi, (4) menentukan nilai pencapaian, (5) bertanya kepada kelompok  penilai, melihat kembali data, menilai keberhasilan dan kegagalan, menilai kelebihan dan kelemahan penafsiran, (6) membandingkan variabel-variabel penting dengan hasil yang diharapkan, (7) membandingkan analisis yang dilaporkan oleh program yang usahanya sama, dan (8) menafsirkan hasil analisis  dengan prosedur  yang menghasilkannya. Namun demikian, menginterpretasikan data bukan hanya  pekerjaan evaluator saja, akan tetapi evaluator hanya memberikan pandangan saja dari sekian banyak pandangan.

 5.   Tindak lanjut
Tindak lanjut adalah menindak lanjuti hasil  asesmen atau penggunaan hasil asesmen dalam konseling. Beberapa kegiatan tindak lanjut  diantaranya adalah apakah konselee perlu melakukan konseling yang memfokuskan pada aspek yang berbeda lainnya, apakah klien perlu mendapatkan tritmen tertentu, atau bahkan bisa jadi konselee perlu mendapatkan rujukan (refferal) kepada pihak ketiga. Rujukan diperlukan jika guru pembimbing/ konselor tidak mempunyai kewenangan atau tidak mempunyai kemampuan untuk menangani masalah yang dihadapi klien. Misalnya jika klien sudah mengalami gangguan psikotik, maka klien perlu dirujuk ke psikiater; jika klien mengalami gangguan dislesia maka perlu dirujuk ke terapis khusus yang menangani gangguan tersebut.
 Untuk konseling yang berbasis individu, maka langkah-langkah khusus peerlu dilakukan, yaitu dengan cara:
1.   menentukan fokus yang akan dinilai (misal cara klien dalam merespon, ide-ide pemecahan masalah, pengambilan keputusan, dan sebagainya)
2.    menentukan teknik untuk penilaian (misal dengan observasi, konferensi kasus, atau  wawancara)
3.        menggunakan teknik penilaian yang telah ditentukan
4.        melakukan analisis data yang diperoleh dan membicarakan hasilnya dengan klien
5.        menanggapi data dengan cermat, dan
6.        melaporkan data yang telah diolah (laporan hasil konseling)

G.   Cara Pengumpulan Informasi Asesmen
Pengumpulan informasi untuk asesmen berbasis individu dapat dilakukan secara resmi/f ormal, dan tidak resmi /informal. Secara resmi misalnya, individu dipanggil untuk melakukan wawancara konseling dengan konselor, atau guru BK meminta individu melakukan tes psikologis dan/atau tes perbuatan (performance test). Secara tidak resmi, misalnya klien mengerjakan kegiatan-kegiatan yang sengaja dibuat untuk melaksanakan hasil keputusan dalam konseling. Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan penilaian  dengan menggunakan metode pengamatan/ observasi, pencatatan, dan pengumpulan hasil kegiatan klien.
Pengumpulan informasi asesmen berbasis individu dapat dilakukan dengan cara   berikut ini:
1.  Penilaian berkesinambungan /berkelanjutan, guru melakukan penilaian secara terus-menerus terhadap klien. Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan anecdotal record, case conference, observasi, refleksi, wawancara pengumpulan data, atau daftar cek.
2.   Penilaian proses, dilakukan pada saat konseling dilakukan. Adapun yang dinilai adalah hal-hal seperti  kerjasama, cara merespon, ide-ide pemecahan masalah,  kemampuan dalam mengambil keputusan, dan keterlibatan dalam pemecahan masalah. Cara yang digunakan untuk mencatat informasi sebagai bahan penilaian dapat dengan berbagai jenis alat pencatat observasi ( daftar cek, rating scale).
 3.   Penilaian Produk, merupakan penilaian terhadap hasil konseling, yaitu keputusan yang diambil oleh klien pada akhir konseling. Dasar evaluasinya adalah keputusan klien yang dalam pelaksanaanya diterapkan dalam keseharian klien setelah selesai konseling. Tempatnya tergantung apa yang akan dinilai, misalnya perubahan perilaku saat mengikuti pembelajaran di kelas, maka penilaian dilakukan di saat klien mengikuti pembelajaran di kelas; dan penilaian  dilakukan oleh guru mata pelajaran jika tidak memungkinkan guru bimbingan konseling masuk dalam kelas saat pembelajaran berlangsung. Namun demikian, yang mempersiapkan format penilaian adalah  guru Bimbingan Konseling   dan hasil pengisian format oleh guru saat pembelajaran langsung  diserahkan  kepada Guru Bimbingan Konseling.
4.    Penilaian Proyek, berdasarkan kesepakatan antara klien dengan guru BK, klien akan merancang tentang cara melakukan pendekatan kepada seseorang (orang tua, teman sekolah,  guru) untuk menyelesaikan masalahnya, merencanakan mengkomunikasi-kan sesuatu (kepada orang tua, guru, pacarnya, dan  sebagainya)
Selain itu, ada dua macam metode asesmen yang dapat digunakan guru pembimbing  atau konselor, yaitu:
1.    Tidak langsung/indirect seperti wawancara, kuesioner, retrospektif rating oleh orang lain, baik dengan  representasi kata verbal maupun tulisan
2.         Langsung/direct seperti observasi diri, analog role play, analog
perilaku bebas (setting mirip tapi bukan sesungguhnya), role play alamiah, perilaku bebas alamiah (setting sesungguhnya)

Sumber:
Hood, A.B., & Johnson, R.W., 1993. Assessment in Counseling: a Guide to the Use Psychological Assessment Procedures. American Counseling Assocition
Ratna Widiastuti. 2010. “Asessmen Intrumen Untuk Melakukan Asesmen dalam Bimbingan dan Konseling”. (online), (http://blog.unila.ac.id, diakses 24 Desember 2010).

3 komentar:

Silahkan bergabung ke MEMBERS CCI untuk dapat meninggalkan komentar sahabat.Terima Kasih!