Home

Senin, 18 Juni 2012

Bimbingan dan Konseling Keluarga



A.      Kedudukan BK Keluarga dalam Bimbingan dan Konseling
Adapun inti dari pelaksanaan konseling keluarga sebagai salah satu layanan profesional dari seorang konselor didasari oleh asumsi dasar sebagai berikut:

1)   Terjadinya perasaan kecewa, tertekan atau sakitnya seorang anggota keluarga bukan hanya disebabkan oleh dirinya sendiri, melainkan oleh interaksi yang tidak sehat dengan anggota keluarga yang lain.
2)  Ketidak tahuan individu dalam keluarga tentang peranannya dalam menjalani kehidupan keluarga.
3)   Situasi hubungan suami-isteri dan antar keluarga lainya.

4)   Penyesuaian diri yang kurang sempurna dalam sebuah keluarga sangat mempengaruhi situasi psikologis dalam keluarga
5)   Konseling keluarga diharapkan mampu membantu keluarga mencapai penyesuaian diri yang tinggi diantara seluruh anggota keluarga
6)   Interaksi kedua orang tua sangat mempengaruhi hubungan semua anggota keluarga. Hal ini dikemukakan oleh Perez (1979) menyatakan sebagai berikut: “Family therapi is an interactive proses which seeks to aid the family in regainnga homeostatic balance with all the members are confortabl”..
 Dari definisi di atas konseling keluarga merupakan suatu proses interaktif untuk membantu keluarga dalam mencapai kondisi psikologis yang serasi atau seimbang sehingga semua anggota keluarga bahagia. Ini berarti bahwa sebuah keluarga membutuhkan pendekatan yang beragam untuk menyelesaikan masalah yang dialami oleh anggota keluarga. Rumusan di atas memuat dua implikasi yaitu; terganggunya kondisi seorang anggota keluarga merupakan hasil adaptasi/interaksi terhadap lingkungan yang sakit yang diciptakan didalam keluarga. Kedua, seorang anggota keluarga yang mengalami gangguan emosional akan mempengaruhi suasana dan interaksi anggota keluarga yang lain, sehingga diupayakan pemberian bantuan melalui konseling keluarga. Terlaksananya konseling keluarga akan membantu anggota keluarga mencapai keseimbangan psiko dan psikis sehingga terwujudnya rasa bahagia dan kenyamanan bagi semua anggota keluarga.

B.       Fungsi BK Keluarga.
Fungsi dari konseling keluarga pada hakikatnya merupakan layanan yang bersifat profesional yang bertujuan untuk mencapai tujuan-tujuan sebagai berikut:
1) Membantu anggota keluarga belajar dan memahami bahwa dinamika keluarga merupakan hasil pengaruh hubungan antar anggota keluarga.
2)  Membantu anggota keluarga dapat menerima kenyataan bahwa bila salah satu anggota keluarga mengalami masalah, dia akan dapat memberikan pengaruh, baik pada persepsi, harapan, maupun interaksi dengan anggota keluarga yang lain.
3) Upaya melaksanakan konseling keluarga kepada anggota keluarga dapat mengupayakan tumbuh dan berkembang suatu keseimbangan dalam kehidupan berumah tangga.
4)  Mengembangkan rasa penghargaan diri dari seluruh anggota keluarga kepada anggota keluarga yang lain.
5)    Membantu anggota keluarga mencapai kesehatan fisik agar fungsi keluarga menjadi maksimal.
6)   Membantu individu keluarga yang dalam keadaan sadar tentang kondisi dirinya yang bermasalah, untuk mencapai pemahaman yang lebih baik tentang dirinya sendiri dan nasibnya sehubungan dengan kehidupan keluarganya.
Agar mampu mewujudkan tujuan-tujuan tersebut, maka seorang konselor keluarga hendaknya memiliki kemampuan sebagai berikut:
1)   Memiliki kemampuan berfikir cerdas, berwawasan yang luas, serta komunikasi yang tangkas dengan penerapan moral yang laras dengan penerapan teknik-teknik konseling yang tangkas
2)   Etika professional, yakni kemampuan memahami dan bertindak sesuai dengan kaidah-kaidah pelayanan konseling yang dipadukan dalam hubungan pelayanan konseling terhadap anggota keluarga
3)    Terlatih dan terampil dalam melaksanakan konseling keluarga
4)    Mampu menampilkan ciri-ciri karakter dan kepribadian untuk menangani interaksi yang kompleks pasangan yang sedang konflik dan mendapatkan latihan untuk memiliki keterampilan khusus.
5)     Memiliki pengetahuan yang logis tentang hakikat keluarga den kehidupan berkeluarga.
6)     Memiliki jiwa yang terbuka dan fleksibel dalam melaksanakan konseling keluarga.
7)     Harus obyektif setiap saat dalam menelaah dan menganalisa masalah

C.      Disfungsi Keluarga dan Pengaruhnya Terhadap Perkembangan Anak.
Dadang Hawari (dalam Marwisni Hasan, 2006:26) mengemukakan bahwa keluarga adalah organisasi bio-psikososial, di mana pada anggotanya terikat dengan satu ikatan khusus untuk hidup bersama, bukan suatu ikatan yang sifatnya statis (beku) dan membelenggu, namun suatu ikatan dinamis (bergerak) yang memungkinkan para anggota keluarga itu berkembang dan tumbuh.
Kelahiran anak-anak awalnya positif bagi keluarga yang tidak berfungsi (disfungsional). Karena membawa kebanggaan dan sukacita. Seolah-olah problem mereka selama ini menjadi berkurang dengan hadirnya anak. Mereka menjadi lupa pada problem mereka. Namun setelah anak besar dan keluar rumah, problem mereka muncul kembali. Jadi hanya terjadi pengalihan sementara.
Di sisi lain anak bisa membawa angin tak segar. Sebab anak menuntut perhatian orang tua. Namun kalau orang tuanya masih bersifat anak-anak sulit sulit mengasuh anak dengan baik. Malah sebaliknya si ayah dan ibu yang jadi anak dan butuh perhatian.
Karena ketidakmampuan mengasuh anak banyak orang tua memberikan pengasuhan anaknya pada baby sitter. Ironisnya anak yang dibesarkan baby sitter cenderung punya perasaan juragan, sebab ia biasa memerintah di rumah. Setelah anak itu besar dan menikah ia pun cenderung jadi juragan bagi pasangannya, sehingga menjadi sumber masalah nantinya.
Waktu bersama anak bagai berlian yang hilang di era kita. Apa peran orang tua bagi anak?
1)  Membantu anak menghadapi satu lingkungan yang membosankan, penuh kekerasan dan makin egois.
2) Mengajarkan anak bagaimana berkata-kata dan bertindak dalam situasi tertentu. Misalnya bagaimana menghadapi temannya yang suka kasar dan mengejek.
3)  Mengajar anak bagaimana dan kapan mengungkapkan emosinya secara asertif. Kita harus jadi contoh dalam hal marah.
4) Beri anak kesempatan untuk marah atau menangis, dan ambil ambil waktu bicara dengan dia pribadi sesudah dia mengungkapkan emosinya.
Adanya anak tidak jarang akhirnya menambah pro-blem, meskipun ada di antara orang tua yang berkata, “Saya hidup ini hanya demi anak saya saja.” Namun sebenarnya itu disebabkan mereka sebagai suami dan istri sudah tidak dapat hidup satu sama lain. Akhirnya mereka berharap anaklah yang membahagiakan mereka. Akibatnya mereka sangat menuntut anak, supaya baik, taat, pintar, berprestasi dan sebagainya. Ini sangat keliru. Seharusnya anak bertugas sebagai anak, bukan sebagai pembahagia orang tua. Sebagian orang tua menginvestasikan hidupnya pada anak. Bekerja keras demi anak. Namun harapannya salah. Mereka berharap dengan kerja keras, anak bisa belajar di sekolah yang mahal. Uang tidak masalah (ini dimanfaatkan sebagian sekolah). Tujuannya adalah agar si anak bisa kuliah di tempat yang baik, kerja dapat gaji tinggi, dan bisa menguntungkan orang tua. Kalau prestasi anak tidak seperti harapan orang tua, ayah atau ibu tentu akan sangat kecewa. Harapan ini sangat kuat dalam banyak orangtua zaman ini


Sumber:
Julianto Simanjubtak. 2009. “Keluarga yang Disfungsi”. Yayasan Peduli Konseling Nusantara.

Marwisni Hasan. 2006. Bimbingan Konseling Keluarga. Padang: BK FIP UNP


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan bergabung ke MEMBERS CCI untuk dapat meninggalkan komentar sahabat.Terima Kasih!