Home

Jumat, 08 Agustus 2014

OBSERVATIONAL LEARNING DALAM PEMBENTUKKAN ASPEK AFEKTIF PESERTA DIDIK


Oleh

Alfaiz, S.Psi.I, M.Pd & Zulkifli, M.Pd

PENDAHULUAN
Sumber Gambar: http://catalog.flatworldknowledge.com
Aspek psikologis yang menjadi perhatian dalam proses pendidikan, mulai pendidikan dasar, menengah hingga pendidikan tinggi tidak lepas dari membentuk kognitif (kemampuan intelektualitas peserta didik), afektif (kemampuan sikap/karakter (soft skill) peserta didik) dan psikomotor (keterampilan/hard skill peserta didik). Dalam hal ini pemerintah merespon dengan melakukan perubahan sistem pendidikan berupa revisi kurikulum dalam penekanan setiap aspek pendidikan yang dibentuk sesuai dengan visi dan misi setiap institusi pendidikan tersebut.
Salah satu penekanan dalam pendidikan yaitu program pendidikan berkarakter, tujuannya adalah untuk membentuk peserta didik berkarakter sesuai dengan keahliannya. Perhatian yang harus dilaksanakan tidak hanya bagi guru bimbingan dan konseling tetapi juga bagi guru mata pelajaran. Boerre (2008) menjelaskan bahwa karakter merupakan ciri khas dan kecenderungan individu yang diproyeksikan dalam sikap, pikiran dan tindakannya. Karakter merupakan aspek bagian dari kepribadian yang luas dan dalam. Seharusnya individu bertindak sesuai dengan kecenderungan sikap yang menggambarkan keahliannya.
Untuk menghasilkan generasi yang berkarakter tentunya ada model yang menjadi contoh/tauladan bagi generasi berikutnya. Seperti halnya dalam pendidikan, jika lembaga pendidikan ingin membangun karakter peserta didiknya sesuai dengan lembaga tadi, maka peserta didik membutuhkan model yang di amati dan di pelajari sebagai contoh. Siapa yang menjadi model tadi? Jawabannya adalah pendidik itu sendiri.
Islam mengajarkan agar individu mencontoh dan belajar dari orang yang bisa menjadi tauladan, oleh karena itu sebagai umat Islam penekanannya adalah mengikuti sunnah rasul karena semuanya merupakan tingkah laku dan perbuatan rasul. Dalam pendidikan pun Ki Hajar Dewantara juga menjelaskan 3 pilar dalam pendidikan yaitu Ing Ngarso Sung Tulodo (Di depan menjadi Teladan), Ing Madya Mangun Karso (di tengah-tengah menjadi Sahabat) dan Tut Wuri Hadayani (di belakang menjadi motivator).

Dalam kajian psikologis, salah satu pembelajaran yang menandakan manusia itu matang secara sosial-kognitif yaitu bisa belajar melalui pengamatan (indirect experienced/vicarious) tanpa mengalami sendiri (without direct experienced), hal ini yang disebut oleh Bandura (1986) dengan observational learning. Berbeda dengan imitation, imitasi lebih pada tahap pembelajaran secara sosial, sedangkan observational learning sudah matang secara sosial-kognitif. Hal ini juga menyebabkan manusia tidak bisa disamakan dengan hewan, sehingga teori belajar yang melakukan eksperimen dengan hewan dan menggeneralisasikan hasil eksperimen kepada manusia di eliminasi.
Permasalahan yang di alami sekarang masih banyak dalam proses pembelajaran dan pendidikan pada masa sekarang hanya mengutamakan kemampuan kognitif, sehingga sosial yang menyokong pembentukkan afektif manusia dalam berinteraksi dengan baik di abaikan. Oleh karena itu, pendidikan berkarakter di canangkan untuk mencetak generasi muda pintar secara kognitif, pandai secara sosial dan piawai secara afektifnya. Mengapa tidak terdapat perubahan dalam pendidikan sekarang dalam mencetak generasi muda?
Hal yang dilupakan adalah manusia bisa belajar hanya melalui pengamatan (observational learning). Oleh karena itu, pendidik dan semua orang dari lini kehidupan harus memahami apa itu belajar melalui pengamatan (observational learning) dan seperti keterkaitannya dengan pembentukkan aspek afektif manusia terutama generasi muda.

 OBSERVATIONAL LEARNING DAN PEMBENTUKKAN AFEKTIF
Pembelajaran observasi (observational learning) merupakan konsepsi yang lahir dalam teori belajar yang dikemukakan oleh Bandura dikenal dengan social learning theory. Dalam konsepsi ini ,Bandura merumuskan pendekatan teori pembelajaran yang telah dikembangkannya dalam pendidikan sebagai penunjang dan pendorong dalam proses pendidikan yang selama ini hanya melibatkan pada satu aspek, menurut Bandura pembelajaran itu saling terkait. Bandura  merumuskan pertama, aspek dalam teori belajar sosial adalah manusia sebagai aktor dalam lingkungan sosialnya yang tidak hanya menjadi reaktor, melainkan saling mempengaruhi dalam proses sosial tersebut, hal ini disebut resiprocal determinism.
Formulasi Bandura berwujud B = behavior; E = environment; P = person atau organism. Lihat bagan di bawah ini (Bandura, 1997: 6) yaitu:

 
Gambar 1. Formulasi Bandura Mengenai Behavior, Environment dan Person
                                                                                                                
Pandangan ini menjelaskan bahwa manusia (P : Person) tidak hanya dipengaruhi oleh lingkungan (E : Environment) yang kemudian pengaruh itu terlihat dari perilakunya (B : Behavior), tetapi manusia (P) juga menjadi aktor dalam lingkungannya dengan merubah lingkungan (E) dan perilaku (B) individu dalam lingkungan. Hal ini menggambarkan adanya fungsi kognisi dari manusia untuk tidak hanya bisa menjadi reaktor tetapi juga aktor dari lingkungan.
Berdasarkan konsep resiprocal determinism ini, Bandura (1977) (dalam Hergenhahn, 2010: 368) menemukan bahwa pandangannya tidak hanya berbicara belajar sosial lagi, tetapi sudah memasuki ranah kognitif dalam belajar sosial. Hal ini karena ada potential environment (lingkungan potensial) yang merupakan sama bagi setiap manusia, sedangkan actual environment (lingkungan aktual) akan bergantung pada manusia itu sendiri. Oleh karena itu, ada manusia yang bisa dipengaruhi oleh lingkungan potensial ada juga manusia yang tidak terpengaruh oleh lingkungan potensial yang sama dengan manusia tadi. Hal ini dikarenakan adanya kemampuan manusia tadi dalam mempengaruhi lingkungan, minimal tidak terpengaruh oleh lingkungan, ini yang disebut dengan belajar kognitif yakninya manusia memiliki kemampuan berfikir untuk ikut dengan lingkungan atau tidak. 
Dalam proses itu terdapat aspek penting dalam diri manusia sehingga dia bisa menjadi aktor dari lingkungannya dan melakukan perubahan dalam lingkungannya dan ini berkaitan dengan proses pembelajaran. Aspek tersebut adalah Self Efficacy (efikasi diri) yaitu persepsi mengenai penilaian diri yang berkaitan dengan mampu tidak mampu, bisa atau tidak bisa melakukan dan menyelesaikan bahkan menjadi sesuatu yang seharusnya yang sesuai dengan yang dipersyaratkan (Alwisol, 2004: 360).
Kedua, konsep belajar sosial dari Bandura ini menjelaskan bahwa belajar melalui observational learning memiliki andil dalam proses pendidikan, yang menekankan pada fungsi interaksi sosial dan fungsi kognitif manusia dalam proses belajar. Sehingga ketika individu sudah bisa mengamati dengan interaksi secara sosial, maka proses ini akan disimpan dalam kognisinya dan terjadi internalisasi dan ini tercermin dalam perilaku dan sikapnya ketika berada dilingkungan.
Berdasarkan pengembangan konsep teori belajar sosial (social learning theory) ini, Bandura (1986) menemukan bahwa belajar tidak selamanya secara langsung, tidak selamanya berbicara interaksi sosial di lingkungan yang merubah perilaku dan sikap, tetapi semuanya melibatkan aspek kognitif. Sehingga dikenalkan aspek reciprocal determinism dan observational learning dan dalam perkembangan teori ini hingga melabelkan dengan teori kognitif sosial (social cognitive theory).
Belajar observasi merupakan salah satu konsep belajar dengan modelling (model/contoh), siapa yang menjadi contoh disini? Tak lain adalah aktor dalam suatu lingkungan yaitu seorang guru/pendidik dalam lingkungan belajar. Konsep belajar observasional memiliki kemiripan dengan belajar imitasi tetapi tidak selamanya, karena dalam belajar observasional adanya keterlibatan kognitif. Sehingga individu tidak hanya meniru/mengimitasi secara penuh akan suatu model, melainkan adanya modifikasi dalam melakukannya.
Modifikasinya adalah adanya pengolahan informasi yang diperoleh; pantas atau tidak, benar atau tidak, baik atau tidak jika saya seperti itu? hal ini yang membuat mengapa dalam ilustrasi tadi orang yang melihat mobil menabrak, menghindar dan mulai berhati-hati. Begitu juga dalam pendidikan afektif, karena afektif tidak bisa dipelajari dan dinilai dengan angka, tetapi melalui proses belajar dari lingkungan sosial. Pendidik haruslah menjadi model atau contoh yang akan diamati dan dipelajari oleh peserta didik ketika berada dalam lingkungan kelas dan sekolah. Seperti pandangan Ki Hajar Dewantoro pendidikan itu terdiri dari ”Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madya Mangun Karso dan Tut Wuri Handayani”.
Dalam belajar observasional ada beberapa variabel yang mempengaruhi sehingga makin kuat efek proses belajar observasional ini bagi peserta didik yaitu
1.      Proses Atensional; Individu akan memperhatikan model yang dianggap efektif, atraktif, berkemampuan dibandingkan model yang sebaliknya (Bandura: 1986)
2.      Proses Retensional; Model yang diperhatikan memberikan informasi yang disimpan secara kognitif dan dapat dipanggil lagi ketika informasi itu diperlukan. Hal ini terkait dengan kapabilitas peserta didik nanti sesuai dengan keahliannya. Misalnya: peserta didik yang dididik sebagai guru maka pendidik harus menampilkan bagaimana guru yang berkarakter dan bersikap, karena sebagai model yang diperhatikan dan menjadi informasi bagi peserta didik.
3.      Proses Pembentukan Perilaku; hal ini berkaitan dengan sejauhmana informasi yang diperoleh melalui atensi dan dipanggil lagi dalam ingatan ketika informasi itu diperlukan dan perwujudannya dalam perilaku, apakah sudah mempribadi bagi mereka sehingga menjadi sikap dan karakternya atau hanya sekedar informasi saja.
4.      Proses Motivasional; kesemuanya itu akan menjadi motivasi bagi peserta didik ketika mereka memahami dan mempersepsikan bahkan berperilaku sesuai dengan apa yang mereka dapatkan dari modelnya, ketika model memberikan reward dengan baik.
Sehingga manusia yang memiliki kemampuan dalam mengevaluasi dirinya dan mengontrol perilakunya sesuai kemampuan dan keinginan lingkungan, dia bisa meregulasi perilaku dirinya (self-regulated behavior), berdasarkan hal yang telah dia pelajari secara langsung atau pun secara observasional (tidak langsung) yang disebut standar performa (performance standards), dari standar ini mereka belajar mengevaluasi dirinya. Sesuaikah tindakan dan sikap saya dengan identitas keahlian saya nanti? Misalnya: mahasiswa yang kuliah di institusi kependidikan harus memenuhi standar performa sebagai pendidik baik secara kognitif maupun afektifnya, tentunya pelajaran yang diperoleh tidak selamanya secara langsung tetapi juga secara observasional, oleh karena itu, pendidik yang mendidiknya harus menekankan standar performa kognitif, afektif dan psikomotor yang sesuai dengan keahlian pendidikannya.
Dalam hal ini pendidikan adalah untuk membentuk afektif peserta didik yang nanti berimbas dalam pembentukkan karakter peserta didik. Pendidik idealnya sebagai agen dilingkungannya dalam melakukan perubahan afektif peserta didik sesuai dengan keahlian apa yang diinginkan. Dengan kata lain pendidikan karakter dapat dicapai melalui pembelajaran afektif dengan mengaplikasikan semua aspek teoritis social cognitive theory oleh pendidik dalam proses pembelajaran.

IMPLIKASI DALAM PROSES PENDIDIKAN

Ketika kita membahas konsepsi social cognitive theory dari Bandura (1986), kita membicarakan aspek psikologis yang saling menentukan dalam proses belajar manusia (psychological aspect that determine some human learning process). Sehingga banyak memandang konsep psikologis ini disebut sebagai konsep determinis yang beranjak lebih jauh dari pada konsep kausalitas yang selama ini melingkupi konsepsi psikologis seperti konsep psikoanalisa dari Sigmund Freud.
Hal ini dikarenakan perbuatan manusia dalam kehidupan sehari-hari tidak hanya dari pengalaman dan gejala psikologis masa lalu yang di pendam, akan tetapi adanya aspek belajar yang terjadi secara sosial dan kognitif yang di awali melalui interaksi dengan orang lain secara langsung (direct) maupun secara tidak langsung (indirect).
Pernahkah kita berfikir tentang pertanyaan ini; mengapa seseorang tidak mau berbuat kesalahan yang sama pada situasi dan kondisi yang sama? mengapa seseorang mampu memberikan saran dan kritikan ketika individu lain berbuat kesalahan? bahkan ada yang tidak menyampaikan melainkan menanamkan pada dirinya bahwa “saya tidak akan berbuat hal yang sama seperti orang tersebut”!.
Pertanyaan tersebut tentu sudah Anda miliki jawabannya, dan ada juga yang masih mengalami keraguan dalam memberikan jawaban secara pengetahuan sosial dan kognitifnya. Semua pertanyaan itu bisa di jawab tergantung pada sejauhmana Anda melakukan pengamatan, interaksi dan belajar melalui proses tersebut, proses ini sama halnya Anda sudah melakukan proses filsafati dalam melakukan pembelajaran, pembelajara ini di kenal dengan pembelajaran observasional.

Kajian belajar observasional (observational learning) sudah ada semenjak Plato dan Aristoteles yang menurut mereka, pendidikan sampai pada tingkat tertentu adalah pemilihan model terbaik untuk disajikan kepada siswa sehingga kualitas model itu bisa diamati dan ditiru (Hergenhahn, 2010: 356). Pada masa itu belajar observasional dianggap dan dipostulatkan sebagai tendensi natural manusia untuk meniru apa yang dilakukan orang lain, sehingga konsep belajar observasional dianggap karena adanya unsur nativistik/bawaan dan imitasi.
Hal ini yang di sempurnakan lagi oleh ahli psikologi dari mulai Edward L. Thorndike (1898), Miller dan Dollard (1941) dan pada tahun 1986 Albert Bandura, pada fase inilah belajar observasional tidak hanya terkait dengan belajar sosial melainkan belajar secara kognitif, karena pengamatan merupakan proses kogntif yang terdiri dari aspek atensi, motivasi dan retensi. Berikut proses yang di rumuskan Bandura (1986: 52).



Gambar 2. Proses yang Melingkupi Observational Learning

Melalui proses tersebut, terlihat jelas bahwa proses pendidikan yang dilaksanakan oleh pendidik baik itu guru, dosen, widyaswara, fasilitator, tutor dan lain-lain yang di atur dalam UU. Melalui proses aspek di atas, ketika pendidik memiliki karakteristik positif dan memiliki keterampilan/skil dalam memberikan materi pembelajaran, peserta didik akan melakukan proses tersebut secara alami.

KESIMPULAN
Sebagai inti sari dari tulisan ini, berikut dikemukakan beberapa kesimpulan:
1.      Interaksi sosial yang terjadi dalam proses pembelajaran antara pendidik dan peserta didik merupakan bagian penting dalam proses pembelajaran afektif. Dalam proses pembelajaran, jadilah pendidik yang memiliki pengaruh yang positif bagi perkembangan afektif peserta didik karena adanya determinisme resiprokal.
2.      Pembelajaran terjadi tidak hanya secara langsung tetapi juga secara tidak langsung yaitu melalui pembelajaran observasional. Pendidik adalah model yang diamati dan dicontoh oleh peserta didik. Untuk berjalan efektifnya pembelajaran afektif, pendidik baik di kelas maupun diluar kelas idealnya menampilkan seperti apa afeksi dan karakter sebagai pendidik di depan peserta didik.
3.      Pembelajaran merupakan aspek pembiasaan bagi peserta didik, pembiasaan untuk bisa mencapai standar performa yang sesuai dengan keahlian mereka. Pendidik harus bisa memberikan reward ataupun punishment secara eksternal dengan standar performa yang di tentukan dan secara internalnya berikan reward berupa motivasi kepada peserta didik yang sukses mencapai standar performa atau melebihi.
4.      Proses pembelajaran afektif yang telah berjalan dengan teoritisi social cognitive theory ditambah dengan penguatan yang konsisten dalam pembelajaran, akan memunculkan agen perubahan dalam lingkungan yang akan mengarahkan lingkungan ke arah yang baik. Ketika pendidik menjadi agen dilingkungan sekolah dengan pengaruh positif, maka peserta didik akan belajar secara tidak langsung menjadi agen manusia (human agency) dilingkungannya juga.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Alwisol. 2004. Psikologi Kepribadian. Cetakan ke 2. Malang: UMM Press.
Bandura, A. 1986. Social Foundation of Thought and Action: Social Cognitive Theory. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice-Hall.
Bandura, A. 1997. Self-Efficacy The Exercise of Control. New York: Freeman and Company.
Bandura, A. 2009. Self-Efficacy in Changing Societies. New York: Cambridge University Press.
Boeree, G. 2004. Personality Theories. Yogyakarta: Prismasophie
Hergenhahn B. R. 2010. Teori-teori Belajar. Jakarta: Kencana 
Pajares, F. & Urdan, T.  2006. Self-Efficacy Beliefs of Adolescents. Volume 5: Greenwich CT.
Sanjaya, W. 2006, Strategi Pembelajaran, Jakarta: Kencana
Schunk, D. H. 2008. Learning Theories An Educational Perspective. New Jersey: Pearson Education Inc.

[1]  Dosen Program Studi Bimbingan dan Konseling STKIP PGRI Sumatera Barat, e-mail: alfaizalfariamany@gmail.com
[2]  Dosen MKDU/MKDK STKIP PGRI Sumatera Barat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan bergabung ke MEMBERS CCI untuk dapat meninggalkan komentar sahabat.Terima Kasih!