Oleh :
Mirza Irawan & Itsar Bolo R
Sumber Gambar: http://noesaalas.blogspot.com |
Inti dari proses terapeutik adalah hubungan yang dibangun antara konselor dan klien.
Dalam bab sebelumnya, pentingnya sikap klien dalam konseling ditekankan. Dalam
bab ini, kami meneliti sikap dari konselor sebagai variabel dalam hubungan dan
bagaimana hubungan itu digunakan untuk membantu klien. Hubungan itu penting
dalam konseling dan psikoterapi karena merupakan media utama untuk memunculkan
perasaan dan penanganan permasalahan yang bertujuan mengubah perilaku klien.
Dengan demikian, kualitas hubungan tidak hanya menentukan perubahan pada diri
klien, tetapi juga meyakinkan klien untuk melanjutkan konseling atau tidak.
Dalam hubungan konseling ada klien yang tidak bersedia
melakukan hubungan interpersonal yang efektif. Tugas dari para psikoterapis
adalah menciptakan hubungan yang baik dengan klien, sehingga antara keduanya
merasa nyaman. Menurut Pepinsky (1954) hubungan atau relationship berarti
hubungan yang mengacu kepada pengaruh elemen-elemen emosional dari suatu
interaksi, di mana hubungan ini didasarkan pada observasi terhadap sikap
atau tingkah laku klien. Dalam teori yang sebenarnya, hubungan berarti
menyediakan suatu jembatan dasar untuk mengaktualisasikan kepribadian dari dua
orang untuk menciptakan suatu kontak.
Karakteristik dan Dimensi Hubungan dalam Konseling
1. Keunikan
Hubungan adalah unik. faktor-faktor yang menciptakan
keunikan ini adalah beragam seperti perbedaan manusia. Faktor-faktor yang unik
termasuk sikap konselor, perilaku dan karakteristik fisik, di samping sikap
klien, latar belakang, dan perilaku yang dibahas dalam bab sebelumnya. Keunikan
ini membuat generalisasi tentang kesulitan konseling. Aspek lain dari keunikan
dalam hubungan terapeutik adalah perbedaan pada setiap hubungan manusia.
Di mana teman-teman, kerabat, dan guru memiliki pengaruh besar pada
perilaku. Satu elemen yang unik dari suatu nasihat adalah strukturnya
direncanakan dengan baik dan dijelaskan dalam kerangka prosesnya.
Elemen lain yang unik yang membedakan
hubungan konseling adalah kemampuan konselor untuk bersikap objektif serta
terlibat secara emosional. Karena intim struktur, sifat, dan sikap hubungan
konseling juga memiliki kesamaan dengan situasi manusia lainnya, misalnya, keluarga,
persahabatan, guru-murid, dokter-pasien, dan pendeta-jemaat. Dalam arti lain,
hubungan konseling adalah perluasan dari proses kehidupan secara efektif.
2. Objektif/Subjektif
Cara kedua untuk melihat hubungan adalah dari keseimbangan
objektivitas dan subjektifitas (Oppenheimer, 1954).
Keseimbangan ini mengacu pada tingkat emosional dan hal-hal yang mempengaruhi
intelektual dan elemen emosional. Objektivitas mengacu pada lebih kognitif, scientific dan generiknya
suatu hubungan. Di mana klien dianggap sebagai obyek belajar atau sebagai
bagian dari penderitaan manusia yang luas. Oleh karena itu, konselor akan
memberikan pandangan kepada klien dan nilai-nilai tanpa penilaian
pribadi. Arti perilaku konselor untuk klien adalah bahwa mereka merasa
konselor menghormati pandangan mereka, tidak memaksakan gagasan-nya pada
mereka, dan melihat masalah mereka rasional dan analitis. Mereka ingin konselor
untuk terlibat secara emosional dan menjadi pribadi yang bersangkutan tentang
mereka.
Elemen subjektif dimaksudkan adalah
sikap kehangatan dan psikologis kedekatan serta keterkaitan yang mendalam pada
masalah klien. Perilaku ini sering digambarkan sebagai kepedulian. Sebaliknya,
beberapa klien menganggap keterlibatan konselor sebagai ancaman, karena mereka
adalah “mengirimkan” untuk kontrol atau “mengungkapkan” diri orang lain.
Seorang klien melihat konselor, sebagai seorang ibu yang penuh kasih sayang
atas kebutuhan klien tersebut. Sifat interaksi emosional tampaknya menjadi
variabel kunci yang menentukan kualitas hubungan, atau pertemuan.
Dalam konseling objektivitas dan
subjektivitas haruslah harmonis, di mana konselor mengoperasikan dua posisi dan
menggabungkan kedua elemen tersebut. Objektivitas diperlukan dalam mendiagnosa,
sementara subjektivitas diperlukan dalam membangun suasana/iklim konseling itu
sendiri.
3. Kognitif/Afektif
Elemen hubungan kognitif mengacu kepada
intelektualitas seperti bertukar informasi. Sedangkan unsur-unsur afektif
mengacu pada ekspresi perasaan dan perubahan, konselor harus tahu kapan untuk
mendorong pengujian rasional pada klien dan interpretasi masalah klien dan
kapan harus mendorong eksplorasi perasaan dan hubungan ide-ide mereka. Menurut
Grater (1964) klien memilih konselor yang mempunyai karakter kognitif dan
afektif.
4. Ambiguitas/kejelasan
Bordin (1955), menyatakan ambiguitas
merupakan karakteristik dari suatu situasi stimulus di mana orang-orang
merespon secara berbeda dan tidak ada respon yang jelas ditunjukkan. Hubungan
konseling adalah kabur dan ambigu untuk klien. Ambiguitas melayani fungsi yang
memungkinkan klien untuk proyek perasaan ke dalam situasi konseling. Proses
memproyeksikan perasaan klien bantu untuk menjadi sadar dan peduli tentang
perasaan mereka, sehingga memungkinkan konselor untuk mengetahui dan berurusan
dengan mereka melalui memperjelas teknik konseling. Terlalu banyak ambiguitas
pada klien menyebabkan keanehan dalam berhubungan di mana klien harusnya merasa
aman dan terstruktur dalam hubungannya.
Ada beberapa kebingungan dalam hubungan
jika konselor terlalu menjelaskan kepribadian kepada klien atau menjadi terlalu
akrab dengan klien. Misalnya, konselor berperilaku lebih seperti seorang teman
dibanding seorang konselor. Jika konselor terlalu ramah dengan klien dalam arti
bahwa mereka membiarkan diri mereka dikenal terlalu dini serta-digambarkan
kepribadian,
konselor akan menemukan bahwa mereka
merasa terdorong untuk “bertindak sendiri” terlalu kuat dalam situasi
wawancara. Jadi, wawancara mungkin didorong dalam arah pembicaraan sosial atau
pertemanan yang intim. Isu ini merupakan kontroversial, karena ada beberapa
literatur yang menekankan pada pentingnya seorang konselor untuk bersikap ramah
dengan klien.
5. Responsibel/akuntabel
Tanggung jawab atau menerima klien
dalam hubungan konseling menyiratkan kesediaan pada akuntabilitas dari konselor
untuk memikul beberapa tanggung jawab atas hasil konseling dan beberapa
kesediaan untuk berbagi dalam masalah klien. Klien memiliki tanggung jawab
juga, yang mereka menganggap sebagian besar itu adalah masalah mereka dan
perilaku yang dipertaruhkan. Konselor berbeda dalam penafsiran mereka tentang
tanggung jawab. Kami merasa bahwa konselor tidak bertanggung jawab untuk
menjalankan hidup klien atau memilih nasihat. Bahwa klien bertanggung jawab
untuk menetapkan tujuan konseling karena dia memiliki masalah. Konselor mempunyai
lebih banyak pengaruh dari yang mereka sadari karena mereka mempunyai kekuasaan
dan status sebagai penyembuh. Tanggung jawab konselor untuk masyarakat yang
lebih luas dibahas pada bagian berikutnya pada etika.
6. Dimensi Etika
Ciri khas dari konselor profesional
adalah penanganan etis dari hubungan klien sehingga baik klien dan masyarakat
dilindungi. Kode yang merangkum prinsip-prinsip etis yang didasarkan pada
nilai-nilai sosial yang dominan. Untuk menutupi pertanyaan yang sering timbul
dalam konseling, Komite Standar Etika dari American Psychological Association
telah menerbitkan kode standar etika (1979); kode ini terus menerus direvisi
untuk mencerminkan perubahan dalam nilai-nilai budaya. Para Personil Amerika
dan Asosiasi Bimbingan (1981) juga mempublikasikan pernyataan revisi standar
etika yang awalnya dirancang untuk sekolah dan pengaturan kuliah konseling.
Kode APA mencakup prinsip-prinsip berikut, dinyatakan di sini dalam bentuk
sangat-disingkat dalam rangka untuk menunjukkan ide umum dari sembilan prinsip.
Hal ini penting bagi semua konselor dan menerapkan prinsip-prinsip,
subprinciples, dan standar untuk kasus-kasus tertentu. Adapun etika yang
dimaksud adalah :
1. Tanggung jawab.
2. Kompetensi.
3. Standar Moral dan
Hukum.
4. Laporan Publik.
5. Kerahasiaan
6. Kesejahteraan
konsumen
7. Hubungan profesional
8. Teknik pemanfaatan
penilaian
9. Pengadaan aktivitas
penelitian
Karakteristik Konselor
Anggapan dasar dalam membangun hubungan adalah
kepribadian dari konselor. Berdasarkan studi oleh Forgy dan Black (1954)
menekankan bahwa pribadi konselor dan gaya konselor sangatlah penting, meskipun
mereka menemukan bahwa hal ini merupakan interaksi pribadi konselor dan metode
yang diperhitungkan untuk perbedaan dalam keefektifan konseling. Seeman (1949),
dalam studinya mengenai konseling karir, menyimpulkan bahwa metode tidak begitu
penting dalam membedakan reaksi klien akan tetapi karakter hangat, ketertarikan
dan memahami yang penting.
Fiedler (1950) membandingkan tiga
kelompok yang berbeda dari terapis yang berpengalaman dengan tiga kelompok
terapi yang kurang berpengalaman. Fiedler menemukan bahwa untuk terapis yang
berpengalaman, kepribadian dan pengalaman dari pada metode yang berbeda-beda,
diperhitungkan untuk hasil yang berbeda dari teraupetic. Sementara penemuan
Gardner menyatakan karakteristik terapis berbanding lurus/positif dengan
kemajuan klien. Ciri-ciri dari terapis yang efektif adalah yang memiliki
karakteristik sebagai berikut :
1. Person technician balance atau personal keseimbangan teknis
Konselor dan psikoterapis memiliki dua kekuatan dan dua
keseimbangan, yaitu : skill dalam hubungan pribadi (interpersonal
skill) dan kualifikasi teknis. Para ahli klinis seperti Strupp
(1963) mendukung pandangan ini. Beberapa referensi dibuat dari data Rogers
(1953), Truax dan Charkhuff (1964) dan Combs (1969) dalam karakteristik
hubungan yang fasilitatif dari konselor. Mereka menemukan bahwa karakter hangat
konselor, memahami, sikap positif, pengalaman konkret konselor dan keterbukaan
konselor menciptakan kondisi untuk mengeksplorasi diri kilen. Karakter seperti
ini akan menghasilkan perubahan perilaku yang besar dalam diri klien lain
halnya jika kondisi yang fasilitatif tidak di hadirkan secara optimal.
Sebelum menggambarkan karakter konselor
secara lebih jauh, kita harus menekankan ulang pada poin-poin penting yang ada
dalam buku ini :
1. Konselor dan terapis
bertugas dalam membantu orang lain dalam kapasitas profesional. Tapi lebih
penting mereka adalah manusia dengan kelemahan pribadi dan juga memiliki
masalah sendiri.
2. Konselor yang
profesional adalah ahli dalam membantu orang lain, tapi mereka tidak memakai
solusi yang mistis, konseling dan terapi adalah bagian teknisnya, selebihnya
adalah efektivitas manusia melalui hubungan pribadi.
3. Setiap klien dengan
ekspresi yang unik merupakan sifat alami manusia, hal ini harus dipahami oleh
konselor
4. Konseling dan terapi
bisa dipandang sebagai tempat mengaktualisasikan dirinya.
5. Penekanan utama untuk
meringankan konselor atau terapis haruslah pengembangan dari teknik inti yang
cocok dengan teori.
2. Intellectual competence atau kompetensi
intelektual
Berkaitan dengan kompetensi intelektual
adanya persyaratan dari pengetahuan yang luas dari budaya yang dimiliki melalui
pendidikan umum dan kehidupan yang bervariasi. Intelektual dan budaya yang luas
juga merupakan hal yang signifikan, sejak di mulainya memahami berbagai klien
yang bervariasi.
3. Spontaneity atau spontanitas
Ketika bicara mengenai spontanitas hal
ini merupakan karakteristik dari aktualisasi kepribadian. Hal ini sudah di
sebutkan beberapa kali bahwa konseling bukanlah suatu aplikasi yang kaku yang
membuat perubahan sifat dan perilaku. Konselor harus dengan segera merespon
pernyataan klien terutama berkaitan dengan perasaannya. Konselor harus bebas
untuk bergerak secara natural, cepat, dan tenang dalam berfikir dan merasa
dalam rangka untuk beradaptasi dengan nuansa perilaku klien.
4. Acceptance and Caring atau penerimaan dan kepedulian
Pertanyaan yang sering ada adalah seberapa besar sikap dan
perilaku bisa diubah oleh saran, persuasi, ataupun perlakuan. Perilaku klien
terlihat berubah secara efektif dalam hadirnya perkembangan perilakunya.
Pengalaman penerimaan klien terlihat misalnya : seperti perasaan memahami,
cinta dan kepedulian. Perilaku ini merupakan penerimaan yang positif adalah
keseimbangan dasar dari cinta altruistik (Sorokin 1950). Bukti dan logis
dihadirkan dari tulisan Fromm (1956), Montague (1950), May (1953), dan Sorokin
(1950) menjadi bukti terhadap kekuatan tereupetik dari cinta altruistik. Dalam
beberapa tahun lalu konselor mencari filosofi, teologi dan antropologi untuk
konsep mereka mengenai teraupetik cinta. Ahli psikologi telah meneliti
komponen dari cinta melalui eksperimen dengan primata. Penelitian Harlow (1958)
melakukan studi darimothering (mengasuh) sebagai
contoh. Dalam kontek studi perkembangan jangka panjang, Harlow menemukan bahwa
primata yang diberi makan dan dibesarkan dibawah kondisi yang bervariasi
dari dikembangkan perampasan asuhan orang tua akan melahirkan perilaku yang
kurang adaptif yang mana dengan kata lain manusia akan digambarkan sebagai neurosis dan sosiopatic.
5. Asumsi dasar yang mendasari acceptance
Pertama; acceptance/menerima
berdasarkan ide bahwa individu memiliki martabat dan keberhargaan yang tidak
terbatas. Dengan kata lain, manusia itu bernilai tinggi. Asumsi kedua; orang
memiliki hak untuk membuat keputusan sendiri dan mengarahkan kehidupannya.
Asumsi ketiga adalah bahwa kilen memiliki kapasitas atau potensi untuk memilih
secara bijak dan untuk hidup penuh, aktualisasi diri,
kehidupan yang berguna bagi sosial. Asumsi keempat bahwa setiap orang
bertanggung jawab untuk diri dan kehidupannya sendiri. Sistem nilai konselor
harus ditingkatkan dengan kepedulian diri dan tanggung jawab diri dalam klien
dan bagi dirinya sendiri.
Asumsi dan atribut dari acceptance berakar
secara mendalam berdasarkan filosofi demokratis Amerika, yang mana hal itu
mendasari secara kuat dalam tradisi budaya Hebraic-Christian. Posisi filosofi
Leibnizian memandag manusia adalah aktif, organisme yang tumbuh dan motivasi
juga memiliki kontribusi. Kesimpulan dari definisi acceptance telah di susun oleh Rogers (1951)
sebagai hal perilaku positif mengarah kepada penghargaan diri dan bermartabat
dengan hak untuk membuat pilihan dan keputusan sendiri. Dan banyak orang
memberikan postulat bahwa elemen penting dari perilaku positif ini adalah
cinta.
6. Self Acceptance
Ada beberapa bukti bahwa ide mengenai acceptance dari orang lain berdasarkan pada acceptance pada diri sendiri, dan ini berdasarkan
pada acceptance dari orang lain. Beberapa tahun
penelitian awal (Phillips 1951; Sherman 1945; Zelen 1954) memberikan poin
kepada signifikan dari self acceptance (penerimaan
diri) dan self regard(penghargaan diri)
perilaku lainnya sebagai dasar untuk penerimaan terhadap orang lain.
Siginifikan
penemuan ini untuk konselor adalah
bahwa mereka harus menerima dirinya sebelum mereka bisa menerima klien karena
ini akan membantu mereka.
5. Value of Acceptance
Poin penting dari signifikan untuk penerimaan perilaku
adalah keterlibatan klien dalam proses konseling ketika klien merasakan bahwa
konselor sangat peduli tentang apa yang mereka pikirkan dan rasakan, hal itu
mengggambarkan bahwa konselor bisa dan ingin membantu mereka. Nilai kedua
adalah perilaku itu akan berefek kepada psychological climate (iklim
psikologis) dari wawancara. Yang dimaksud dengn iklim psikologis ini artinya
nada emosional yang dihasilkan dari interaksi pribadi klien dan konselor. Iklim
ini bisa di sebut dengan kehangatan, dingin, serius atau sembrono. Nilai ketiga
adalah efek mempertahankan defensif attitude.
Bahwa individu memiliki mekanisme perlindungan diri, seperti penolakan,
rasionalisasi. Maka dengan penerimaan klien akan terbuka.
6.Acceptance-what it is not
Approval or agreement atau persetujuan bukanlah
penerimaan. Penerimaan konselor adalah sebagai persetujuan atas apa yang
dikatakan dan dirasakan klien. Miskonsepsi pertama; Klien pada awal proses
konseling mungkin saja salah memaknai perilaku penerimaan konselor sebagai
persetujuan dengan apa yang mereka katakan dan rasakan adalah resiko konseling
yang sebenarnya. Miskonsepsi kedua; boleh jadi perilaku netral. Penerimaan adalah positif, perilaku aktif
kepada klien. Dimana efeknya “saya suka kamu bahkan jika saya tidak perlu
setuju secara pribadi dengan apa yag kamu pikirkan atau rasakan” atau yang
lainnya “I see, appreciate, and value this ideas and feelings along with
you, the essential you , matter more to me than what you say or do” (saya
mengerti, saya hargai dan nilai atas ide dan perasaan yang ada pada mu, ini
esensi diri mu tidak masalah bagiku tapi apa yang kamu lakukan dan katakan”.)
Yang ketiga adalah simpati. Maka konselor melibatkan emosinya ketika klien
melibatkan emosinya juga. Acceptance pembicaraannya yaitu “i understand how badly you feel, although i do
not personally feel that way” (saya memahai bagaimana
perasaan mu, meskipun saya tidak merasakan secara pribadi bagaimana kamu
merasakannya”). Simpati menekankan sebagai alat support, yang dimiliki
bertujuan untuk meminimalisir perasaan dari klien. Perilaku simpati seperti “you poor person, i feel sorry for you since you cannot help your
self”(kamu orang yang menyedihkan, saya merasa sedih pada mu sejak
kamu tidak bisa membantu dirimu sendiri). Yang keempat mis-interpretasi
mengenai penerimaan adalah mengenai toleransi. Meskipun
toleransi adalah perilaku sosal yang sangat diinginkan, dalam hubungan proses
konseling, tapi hal ini tidak bisa diikutkan. Hal ini akan berimplikasi pada
penerimaan negatif dari pada positifnya. Perilaku toleransi berimplikasi bahwa
adanya karakteristik seperti perbedaan ras, yang mana konselor harus sadar
tentang bagaimana perasaan klien yang di berikan toleransi.
7.Understanding and Empathy atau Empati dan
Memahami
Konselor yang efektif tampaknya harus
dapat lebih memahami klien, (Fiedler 1950; Heine 1950). Porter (1949)
membuat pembedaan yang bermanfaat antara pemahaman dan pengertian diagnosa
terapi. Pengertian diagnosa mengacu pada deskripsi kecerdasan
perilaku klien. Contohnya adalah informasi yang diperoleh melalui
pengujian atau pengamatan untuk membuat penilaian diagnostik untuk digunakan
dalam perencanaan karir. Aspek pemahaman memungkinkan konselor untuk
membuat prediksi tentang perilaku yang jelas tentang klien dan deskripsi diri
mereka.
Pengertian terapi mengacu
pada reaksi perasaan dari konselor yang memungkinkan klien untuk merasa
dimengerti, diterima dan berempati. Sikap terapeutik menekankan pemahaman
tentang klien bagaimana mereka melihat pengalaman mereka. Gendlin (1962)
menyatakan dengan tepat pengertian empati adalah merasakan makna yang klien
alami sehingga untuk membantu klien fokus pada arti itu. Terapi pemahaman
muncul ketika dalam konseling konselor memilki pengetahuan yang cukup
tentang klien (Fiedler dan Senior 1952).
Terapis yang efektif, meskipun tidak
mampu memprediksi klien mereka mampu mendeskripsi diri klien jauh lebih baik
daripada para terapis yang kurang efektif (Fiedler 1950; Luft 1950), ini
dinilai signifikan dan lebih baik dalam kemampuan mereka untuk membangun dan
mempertahankan hubungan yang hangat, menerima. Dalam hubungan ini, salah
satu temuan yang signifikan Fiedler adalah bahwa ada kesepakatan substansial
antara terapis terampil dari tiga sekolah yang berbeda dari terapi seperti apa
hubungan terapeutik merupakan yang ideal. Para terapis terampil sekolah
yang berbeda sepakat lebih dengan satu sama lain pada definisi hubungan yang
ideal dibandingkan dengan anggota terampil dari sekolah mereka sendiri (Fiedler
1950). Jika hasil Fiedler dapat diinterpretasikan pada nilai nominal,
tampaknya bahwa pemahaman terapi terkait erat dengan kompetensi terapeutik.
Bukti yang ada tidak semua positif, namun studi Lesser itu
(1961), meskipun terbatas dalam lingkup ke beberapa konselor dan klien saja,
menemukan bahwa ide yang diterima secara umum pemahaman empatik yang terkait
dengan kemajuan klien tidak berhubungan. Meskipun semua klien di ruang
kerjanya membuat kemajuan yang diukur oleh Q-Sorts [1]) pada persepsi
diri yang ideal, kemajuan ini tidak berhubungan dengan tindakan pada skala
pemahaman empatik.
Truax dan Carkhuff (1963, 1964)
menemukan bahwa upaya yang sensitif dan akurat pada pemahaman terapeutik klien
sangat fasilitatif. Ini merupakan respon empatik terhadap klien, yang
berarti klien menganggap konselor telah mengerti. Truax dan Carkhuff
menemukan bahwa kehangatan non posesif dan keaslian konselor adalah
variabel yang di samping untuk memahami, mendorong pertumbuhan
klien. Alasan untuk efektivitas dinyatakan oleh para peneliti sebagai
berikut:
Semakin besar tingkat pemahaman yang akurat
empatik terapis klien, semakin besar sejauh mana terapis menunjukkan kehangatan
tak bersyarat atau nonpossessive atau integrasi terapis dalam hubungan itu, dan
terapis lebih intens dan intim dalam hubungan, semakin besar akan tingkat
eksplorasi antarpribadi klien dan semakin besar akan tingkat akibatnya perilaku
positif. (1964, p.861)
Dengan kata lain, jika konselor
menghadirkan kondisi seperti yang dijelaskan di atas dalam hubungan, klien
merasa lebih bebas untuk menjadi diri sendiri dan menghadapi masalah
mereka. Empati telah ditekankan sebagai variabel kunci dalam keberhasilan
konseling. Konselor yang efektif ternyata membutuhkan jenis baik diagnostik dan
terapi pemahaman. Namun menggunakan kedua metode tersebut tidaklah
mudah. Ada kecenderungan kuat untuk sibuk dengan aspek-aspek kognitif dari
klien dan kesulitan untuk selama-tampilan implikasi connotive kebingungan dan
ketidakpastian. Misalnya, ketika mencoba untuk melihat alasan klien untuk
mencari bantuan keuangan, untuk mencari pekerjaan sosial yang lebih cocok
daripada mengajar, atau memutuskan yang prospek perkawinan tampak paling
menjanjikan, konselor mungkin cenderung mengabaikan ancaman terhadap
kemerdekaan klien yang terlibat dalam bantuan keuangan, atau kebutuhan untuk
mendominasi anak-anak dalam pilihan karir, atau dependensi ekstrim mengganggu
dengan pilihan perkawinan atau pekerjaan.
Bacaan Lebih Lanjut :
Brammer, L.M & Shostrom, E.L. 1982. Therapeutic Psychology. New
Jersey : Prentice-Hall. Inc.
Sumber: http://itsarbolo.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan bergabung ke MEMBERS CCI untuk dapat meninggalkan komentar sahabat.Terima Kasih!