Oleh
PENDAHULUAN
Sumber Gambar: http://catalog.flatworldknowledge.com |
Aspek psikologis yang
menjadi perhatian dalam proses pendidikan, mulai pendidikan dasar, menengah
hingga pendidikan tinggi tidak lepas dari membentuk kognitif (kemampuan
intelektualitas peserta didik), afektif (kemampuan sikap/karakter (soft skill) peserta didik) dan
psikomotor (keterampilan/hard skill peserta
didik). Dalam hal ini pemerintah merespon dengan melakukan perubahan sistem
pendidikan berupa revisi kurikulum dalam penekanan setiap aspek pendidikan yang
dibentuk sesuai dengan visi dan misi setiap institusi pendidikan tersebut.
Salah satu penekanan
dalam pendidikan yaitu program pendidikan berkarakter, tujuannya adalah untuk
membentuk peserta didik berkarakter sesuai dengan keahliannya. Perhatian yang
harus dilaksanakan tidak hanya bagi guru bimbingan dan konseling tetapi juga
bagi guru mata pelajaran. Boerre (2008) menjelaskan bahwa karakter merupakan
ciri khas dan kecenderungan individu yang diproyeksikan dalam sikap, pikiran
dan tindakannya. Karakter merupakan aspek bagian dari kepribadian yang luas dan
dalam. Seharusnya individu bertindak sesuai dengan kecenderungan sikap yang
menggambarkan keahliannya.
Untuk menghasilkan
generasi yang berkarakter tentunya ada model yang menjadi contoh/tauladan bagi
generasi berikutnya. Seperti halnya dalam pendidikan, jika lembaga pendidikan
ingin membangun karakter peserta didiknya sesuai dengan lembaga tadi, maka
peserta didik membutuhkan model yang di amati dan di pelajari sebagai contoh.
Siapa yang menjadi model tadi? Jawabannya adalah pendidik itu sendiri.
Islam mengajarkan agar
individu mencontoh dan belajar dari orang yang bisa menjadi tauladan, oleh
karena itu sebagai umat Islam penekanannya adalah mengikuti sunnah rasul karena
semuanya merupakan tingkah laku dan perbuatan rasul. Dalam pendidikan pun Ki
Hajar Dewantara juga menjelaskan 3 pilar dalam pendidikan yaitu Ing Ngarso Sung Tulodo (Di depan menjadi
Teladan), Ing Madya Mangun Karso (di
tengah-tengah menjadi Sahabat) dan Tut Wuri Hadayani (di belakang menjadi
motivator).
Dalam kajian
psikologis, salah satu pembelajaran yang menandakan manusia itu matang secara
sosial-kognitif yaitu bisa belajar melalui pengamatan (indirect experienced/vicarious) tanpa mengalami sendiri (without direct experienced), hal ini yang disebut oleh Bandura (1986)
dengan observational learning.
Berbeda dengan imitation, imitasi
lebih pada tahap pembelajaran secara sosial, sedangkan observational learning sudah matang secara sosial-kognitif. Hal ini
juga menyebabkan manusia tidak bisa disamakan dengan hewan, sehingga teori
belajar yang melakukan eksperimen dengan hewan dan menggeneralisasikan hasil
eksperimen kepada manusia di eliminasi.
Permasalahan yang di
alami sekarang masih banyak dalam proses pembelajaran dan pendidikan pada masa
sekarang hanya mengutamakan kemampuan kognitif, sehingga sosial yang menyokong
pembentukkan afektif manusia dalam berinteraksi dengan baik di abaikan. Oleh
karena itu, pendidikan berkarakter di canangkan untuk mencetak generasi muda
pintar secara kognitif, pandai secara sosial dan piawai secara afektifnya.
Mengapa tidak terdapat perubahan dalam pendidikan sekarang dalam mencetak
generasi muda?
Hal yang dilupakan
adalah manusia bisa belajar hanya melalui pengamatan (observational learning). Oleh karena itu, pendidik dan semua orang
dari lini kehidupan harus memahami apa itu belajar melalui pengamatan (observational learning) dan seperti
keterkaitannya dengan pembentukkan aspek afektif manusia terutama generasi
muda.
OBSERVATIONAL
LEARNING DAN PEMBENTUKKAN AFEKTIF
Pembelajaran observasi
(observational learning) merupakan
konsepsi yang lahir dalam teori belajar yang dikemukakan oleh Bandura dikenal
dengan social learning theory. Dalam
konsepsi ini ,Bandura merumuskan pendekatan teori pembelajaran yang telah
dikembangkannya dalam pendidikan sebagai penunjang dan pendorong dalam proses
pendidikan yang selama ini hanya melibatkan pada satu aspek, menurut Bandura
pembelajaran itu saling terkait. Bandura
merumuskan pertama, aspek
dalam teori belajar sosial adalah manusia sebagai aktor dalam lingkungan
sosialnya yang tidak hanya menjadi reaktor, melainkan saling mempengaruhi dalam
proses sosial tersebut, hal ini disebut resiprocal
determinism.
Formulasi Bandura berwujud B =
behavior; E = environment; P = person atau
organism. Lihat bagan di bawah ini
(Bandura, 1997: 6) yaitu:
Gambar
1. Formulasi Bandura Mengenai Behavior, Environment dan Person
Pandangan ini
menjelaskan bahwa manusia (P : Person)
tidak hanya dipengaruhi oleh lingkungan (E : Environment) yang kemudian pengaruh itu terlihat dari perilakunya
(B : Behavior), tetapi manusia (P)
juga menjadi aktor dalam lingkungannya dengan merubah lingkungan (E) dan
perilaku (B) individu dalam lingkungan. Hal ini menggambarkan adanya fungsi
kognisi dari manusia untuk tidak hanya bisa menjadi reaktor tetapi juga aktor
dari lingkungan.
Berdasarkan konsep resiprocal determinism ini, Bandura
(1977) (dalam Hergenhahn, 2010: 368) menemukan bahwa pandangannya tidak hanya
berbicara belajar sosial lagi, tetapi sudah memasuki ranah kognitif dalam
belajar sosial. Hal ini karena ada potential
environment (lingkungan potensial) yang merupakan sama bagi setiap manusia,
sedangkan actual environment
(lingkungan aktual) akan bergantung pada manusia itu sendiri. Oleh karena itu,
ada manusia yang bisa dipengaruhi oleh lingkungan potensial ada juga manusia
yang tidak terpengaruh oleh lingkungan potensial yang sama dengan manusia tadi.
Hal ini dikarenakan adanya kemampuan manusia tadi dalam mempengaruhi
lingkungan, minimal tidak terpengaruh oleh lingkungan, ini yang disebut dengan
belajar kognitif yakninya manusia memiliki kemampuan berfikir untuk ikut dengan
lingkungan atau tidak.
Dalam proses itu terdapat
aspek penting dalam diri manusia sehingga dia bisa menjadi aktor dari
lingkungannya dan melakukan perubahan dalam lingkungannya dan ini berkaitan
dengan proses pembelajaran. Aspek tersebut adalah Self Efficacy (efikasi diri) yaitu persepsi mengenai penilaian diri
yang berkaitan dengan mampu tidak mampu, bisa atau tidak bisa melakukan dan
menyelesaikan bahkan menjadi sesuatu yang seharusnya yang sesuai dengan yang
dipersyaratkan (Alwisol, 2004: 360).
Kedua,
konsep
belajar sosial dari Bandura ini menjelaskan bahwa belajar melalui observational learning memiliki andil
dalam proses pendidikan, yang
menekankan pada fungsi interaksi sosial dan fungsi kognitif manusia dalam
proses belajar. Sehingga ketika individu sudah bisa mengamati dengan interaksi
secara sosial, maka proses ini akan disimpan dalam kognisinya dan terjadi
internalisasi dan ini tercermin dalam perilaku dan sikapnya ketika berada
dilingkungan.
Berdasarkan
pengembangan konsep teori belajar sosial (social
learning theory) ini, Bandura (1986) menemukan bahwa belajar tidak
selamanya secara langsung, tidak selamanya berbicara interaksi sosial di
lingkungan yang merubah perilaku dan sikap, tetapi semuanya melibatkan aspek
kognitif. Sehingga dikenalkan aspek reciprocal
determinism dan observational learning
dan dalam perkembangan teori ini hingga melabelkan dengan teori kognitif sosial
(social cognitive theory).
Belajar observasi
merupakan salah satu konsep belajar dengan modelling
(model/contoh), siapa yang menjadi contoh disini? Tak lain adalah aktor dalam
suatu lingkungan yaitu seorang guru/pendidik dalam lingkungan belajar. Konsep
belajar observasional memiliki kemiripan dengan belajar imitasi tetapi tidak
selamanya, karena dalam belajar observasional adanya keterlibatan kognitif.
Sehingga individu tidak hanya meniru/mengimitasi secara penuh akan suatu model,
melainkan adanya modifikasi dalam melakukannya.
Modifikasinya adalah
adanya pengolahan informasi yang diperoleh; pantas atau tidak, benar atau
tidak, baik atau tidak jika saya seperti itu? hal ini yang membuat mengapa
dalam ilustrasi tadi orang yang melihat mobil menabrak, menghindar dan mulai
berhati-hati. Begitu juga dalam pendidikan afektif, karena afektif tidak bisa
dipelajari dan dinilai dengan angka, tetapi melalui proses belajar dari
lingkungan sosial. Pendidik haruslah menjadi model atau contoh yang akan
diamati dan dipelajari oleh peserta didik ketika berada dalam lingkungan kelas
dan sekolah. Seperti pandangan Ki Hajar Dewantoro pendidikan itu terdiri dari ”Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madya Mangun
Karso dan Tut Wuri Handayani”.
Dalam belajar
observasional ada beberapa variabel yang mempengaruhi sehingga makin kuat efek
proses belajar observasional ini bagi peserta didik yaitu
1.
Proses Atensional; Individu akan
memperhatikan model yang dianggap efektif, atraktif, berkemampuan dibandingkan
model yang sebaliknya (Bandura: 1986)
2.
Proses Retensional; Model yang
diperhatikan memberikan informasi yang disimpan secara kognitif dan dapat
dipanggil lagi ketika informasi itu diperlukan. Hal ini terkait dengan
kapabilitas peserta didik nanti sesuai dengan keahliannya. Misalnya: peserta didik yang dididik sebagai guru maka pendidik
harus menampilkan bagaimana guru yang berkarakter dan bersikap, karena sebagai
model yang diperhatikan dan menjadi informasi bagi peserta didik.
3.
Proses Pembentukan Perilaku; hal ini
berkaitan dengan sejauhmana informasi yang diperoleh melalui atensi dan
dipanggil lagi dalam ingatan ketika informasi itu diperlukan dan perwujudannya
dalam perilaku, apakah sudah mempribadi bagi mereka sehingga menjadi sikap dan
karakternya atau hanya sekedar informasi saja.
4.
Proses Motivasional; kesemuanya itu akan
menjadi motivasi bagi peserta didik ketika mereka memahami dan mempersepsikan
bahkan berperilaku sesuai dengan apa yang mereka dapatkan dari modelnya, ketika
model memberikan reward dengan baik.
Sehingga
manusia yang memiliki kemampuan dalam mengevaluasi dirinya dan mengontrol
perilakunya sesuai kemampuan dan keinginan lingkungan, dia bisa meregulasi
perilaku dirinya (self-regulated behavior),
berdasarkan hal yang telah dia pelajari secara langsung atau pun secara
observasional (tidak langsung) yang disebut standar performa (performance standards), dari standar ini
mereka belajar mengevaluasi dirinya. Sesuaikah tindakan dan sikap saya dengan
identitas keahlian saya nanti? Misalnya:
mahasiswa yang kuliah di institusi kependidikan harus memenuhi standar
performa sebagai pendidik baik secara kognitif maupun afektifnya, tentunya
pelajaran yang diperoleh tidak selamanya secara langsung tetapi juga secara
observasional, oleh karena itu, pendidik yang mendidiknya harus menekankan
standar performa kognitif, afektif dan psikomotor yang sesuai dengan keahlian
pendidikannya.
Dalam
hal ini pendidikan adalah untuk membentuk afektif peserta didik yang nanti
berimbas dalam pembentukkan karakter peserta didik. Pendidik idealnya sebagai
agen dilingkungannya dalam melakukan perubahan afektif peserta didik sesuai
dengan keahlian apa yang diinginkan. Dengan kata lain pendidikan karakter dapat
dicapai melalui pembelajaran afektif dengan mengaplikasikan semua aspek
teoritis social cognitive theory oleh
pendidik dalam proses pembelajaran.
IMPLIKASI DALAM
PROSES PENDIDIKAN
Ketika kita membahas
konsepsi social cognitive theory dari
Bandura (1986), kita membicarakan aspek psikologis yang saling menentukan dalam
proses belajar manusia (psychological
aspect that determine some human learning process). Sehingga banyak
memandang konsep psikologis ini disebut sebagai konsep determinis yang beranjak
lebih jauh dari pada konsep kausalitas yang selama ini melingkupi konsepsi
psikologis seperti konsep psikoanalisa dari Sigmund Freud.
Hal ini dikarenakan
perbuatan manusia dalam kehidupan sehari-hari tidak hanya dari pengalaman dan
gejala psikologis masa lalu yang di pendam, akan tetapi adanya aspek belajar
yang terjadi secara sosial dan kognitif yang di awali melalui interaksi dengan orang
lain secara langsung (direct) maupun
secara tidak langsung (indirect).
Pernahkah kita berfikir
tentang pertanyaan ini; mengapa seseorang tidak mau berbuat kesalahan yang sama
pada situasi dan kondisi yang sama? mengapa seseorang mampu memberikan saran
dan kritikan ketika individu lain berbuat kesalahan? bahkan ada yang tidak
menyampaikan melainkan menanamkan pada dirinya bahwa “saya tidak akan berbuat
hal yang sama seperti orang tersebut”!.
Pertanyaan tersebut
tentu sudah Anda miliki jawabannya, dan ada juga yang masih mengalami keraguan
dalam memberikan jawaban secara pengetahuan sosial dan kognitifnya. Semua
pertanyaan itu bisa di jawab tergantung pada sejauhmana Anda melakukan
pengamatan, interaksi dan belajar melalui proses tersebut, proses ini sama
halnya Anda sudah melakukan proses filsafati dalam melakukan pembelajaran,
pembelajara ini di kenal dengan pembelajaran observasional.
Kajian belajar
observasional (observational learning)
sudah ada semenjak Plato dan Aristoteles yang menurut mereka, pendidikan sampai
pada tingkat tertentu adalah pemilihan model terbaik untuk disajikan kepada
siswa sehingga kualitas model itu bisa diamati dan ditiru (Hergenhahn, 2010:
356). Pada masa itu belajar observasional dianggap dan dipostulatkan sebagai
tendensi natural manusia untuk meniru apa yang dilakukan orang lain, sehingga
konsep belajar observasional dianggap karena adanya unsur nativistik/bawaan dan
imitasi.
Hal ini yang di
sempurnakan lagi oleh ahli psikologi dari mulai Edward L. Thorndike (1898),
Miller dan Dollard (1941) dan pada tahun 1986 Albert Bandura, pada fase inilah
belajar observasional tidak hanya terkait dengan belajar sosial melainkan
belajar secara kognitif, karena pengamatan merupakan proses kogntif yang
terdiri dari aspek atensi, motivasi dan retensi. Berikut proses yang di
rumuskan Bandura (1986: 52).
Gambar
2. Proses yang Melingkupi Observational
Learning
Melalui proses
tersebut, terlihat jelas bahwa proses pendidikan yang dilaksanakan oleh
pendidik baik itu guru, dosen, widyaswara, fasilitator, tutor dan lain-lain
yang di atur dalam UU. Melalui proses aspek di atas, ketika pendidik memiliki
karakteristik positif dan memiliki keterampilan/skil dalam memberikan materi
pembelajaran, peserta didik akan melakukan proses tersebut secara alami.
KESIMPULAN
Sebagai inti sari dari
tulisan ini, berikut dikemukakan beberapa kesimpulan:
1.
Interaksi sosial yang terjadi dalam
proses pembelajaran antara pendidik dan peserta didik merupakan bagian penting
dalam proses pembelajaran afektif. Dalam proses pembelajaran, jadilah pendidik
yang memiliki pengaruh yang positif bagi perkembangan afektif peserta didik
karena adanya determinisme resiprokal.
2.
Pembelajaran terjadi tidak hanya secara
langsung tetapi juga secara tidak langsung yaitu melalui pembelajaran
observasional. Pendidik adalah model yang diamati dan dicontoh oleh peserta
didik. Untuk berjalan efektifnya pembelajaran afektif, pendidik baik di kelas
maupun diluar kelas idealnya menampilkan seperti apa afeksi dan karakter
sebagai pendidik di depan peserta didik.
3.
Pembelajaran merupakan aspek pembiasaan
bagi peserta didik, pembiasaan untuk bisa mencapai standar performa yang sesuai
dengan keahlian mereka. Pendidik harus bisa memberikan reward ataupun punishment
secara eksternal dengan standar performa yang di tentukan dan secara
internalnya berikan reward berupa
motivasi kepada peserta didik yang sukses mencapai standar performa atau
melebihi.
4.
Proses pembelajaran afektif yang telah
berjalan dengan teoritisi social
cognitive theory ditambah dengan penguatan yang konsisten dalam
pembelajaran, akan memunculkan agen perubahan dalam lingkungan yang akan
mengarahkan lingkungan ke arah yang baik. Ketika pendidik menjadi agen
dilingkungan sekolah dengan pengaruh positif, maka peserta didik akan belajar
secara tidak langsung menjadi agen manusia (human
agency) dilingkungannya juga.
DAFTAR
KEPUSTAKAAN
Alwisol. 2004. Psikologi
Kepribadian. Cetakan ke 2. Malang: UMM Press.
Bandura, A. 1986. Social Foundation of Thought and Action: Social Cognitive Theory.
Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice-Hall.
Bandura, A. 1997. Self-Efficacy The Exercise of Control. New York: Freeman and Company.
Bandura, A. 2009. Self-Efficacy in Changing Societies. New York: Cambridge University
Press.
Boeree, G. 2004. Personality
Theories. Yogyakarta: Prismasophie
Hergenhahn B. R. 2010. Teori-teori Belajar. Jakarta:
Kencana
Pajares, F. &
Urdan, T. 2006. Self-Efficacy Beliefs of Adolescents. Volume 5: Greenwich CT.
Sanjaya, W. 2006, Strategi Pembelajaran, Jakarta: Kencana
Schunk, D. H. 2008. Learning Theories An Educational Perspective. New Jersey: Pearson Education Inc.
[1] Dosen Program Studi Bimbingan dan Konseling
STKIP PGRI Sumatera Barat, e-mail: alfaizalfariamany@gmail.com
[2] Dosen MKDU/MKDK STKIP PGRI Sumatera Barat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan bergabung ke MEMBERS CCI untuk dapat meninggalkan komentar sahabat.Terima Kasih!