Home

Jumat, 19 Mei 2023

Model Konseling pada Individu Korban Kekerasan dan Pemerkosaan

 

Oleh

Hengki Yandri., M.Pd., Kons. 

 

Kekerasan

Sumber Gambar: https://www.suara.com/news/2021/04/20/133630/
icjr-revisi-uu-ite-diperlukan-untuk-lindungi-korban-kekerasan-seksual

Setiap tindakan seksual yang dilakukan terhadap seseorang tanpa persetujuan atau melawan kehendak mereka, termasuk pemerkosaan, pelecehan seksual, dan paksaan dalam hubungan intim merupakan tindakan kekerasan seksual (Krantz & Garcia-Moreno, 2005; DeKeseredy, 2011). Kemudian setiap tindakan seksual yang dipaksakan pada seseorang tanpa persetujuan atau melawan kehendak mereka, termasuk pemerkosaan, pemaksaan pernikahan, perbudakan seksual, pelecehan seksual anak, dan pelacuran paksa (United Nations Office on Drugs and Crime, 2013). Seterusnya kekerasan seksual melibatkan tindakan yang melanggar batas-batas seksual seseorang tanpa persetujuan mereka. Hal ini dapat mencakup pemerkosaan, pelecehan seksual, dan eksploitasi seksual. Kekerasan seksual adalah suatu bentuk dominasi dan kontrol yang dapat memberikan dampak yang serius pada korban, termasuk trauma psikologis, gangguan stres pascatrauma, dan masalah kesehatan fisik dan mental yang berkelanjutan (Mason & Lodrick, 2013)

Kekerasan seksual tidak terjadi karena masalah individu atau gangguan psikologis semata. Hal ini terkait erat dengan konstruksi sosial dari maskulinitas yang didasarkan pada kekuasaan dan dominasi. Budaya dan masyarakat yang mempertahankan pandangan bahwa laki-laki harus kuat, agresif, dan tak terkalahkan memberikan lingkungan yang mendukung terjadinya kekerasan seksual. Penting untuk memperhatikan dan memeriksa norma-norma ini dalam upaya mencegah kekerasan seksual (Katz, 2006).

Penyebab kekerasan seksual kompleks dan melibatkan faktor-faktor yang beragam. Beberapa faktor yang dapat berperan dalam penyebab kekerasan seksual seperti: 1) faktor individu yang dapat berkontribusi terhadap kekerasan seksual meliputi perilaku dan sikap yang meremehkan atau menjustifikasi kekerasan, penggunaan alkohol atau obat-obatan, masalah mental atau emosional, dan adanya riwayat kekerasan seksual sebagai korban atau pelaku sebelumnya (Tharp., et al, 2013; Casey & Masters, 2017); 2)  Faktor sosial dan budaya yang dapat berperan dalam kekerasan seksual meliputi ketidaksetaraan gender, norma sosial yang membenarkan kekerasan, pelecehan seksual dalam budaya populer, dan rendahnya kesadaran tentang masalah kekerasan seksual (World Health Organization, 2017); dan 3) Faktor lingkungan yang berkontribusi terhadap kekerasan seksual meliputi tingkat kepadatan penduduk, tingkat urbanisasi, ketidaksetaraan sosial-ekonomi, dan kualitas lingkungan fisik (Flood & Pease, 2009).

 Pemerkosaan

Pemerkosaan bukanlah sekadar tindakan seksual, melainkan juga merupakan tindakan kekuasaan dan kontrol yang dimaksudkan untuk merendahkan, melukai, dan mendominasi korban. Pemerkosaan melibatkan penolakan atau pemaksaan atas persetujuan yang jelas, serta melanggar batas-batas pribadi dan seksual seseorang. Ini adalah tindakan yang memperkuat hierarki gender dan mengekspresikan dominasi maskulin dalam masyarakat (Edwards., et al, 2011). Pemerkosaan didefinisikan sebagai "hubungan seksual yang terjadi tanpa persetujuan penuh dari salah satu pihak yang terlibat. Persetujuan harus diberikan secara sukarela sebagai hasil dari kemampuan untuk memberikan persetujuan dan pemahaman atas tindakan tersebut (World Health Organization, 2017). Kemudian pemerkosaan didefinisikan sebagai penetrasi dari vagina, anus, atau mulut seseorang dengan menggunakan penis atau benda lainnya tanpa persetujuan yang jelas dan sukarela dari pihak yang terkena dampak. Ketidakmampuan untuk memberikan persetujuan karena keadaan seperti ketakutan, keterbatasan intelektual, pengaruh alkohol atau obat-obatan, atau usia juga dianggap sebagai tidak adanya persetujuan (United Nations Office on Drugs and Crime, 2013).

Penyebab pemerkosaan adalah suatu isu yang kompleks dan multifaktorial. Beberapa faktor yang dapat berperan sebagai penyebab pemerkosaan seperti: 1) Ketidaksetaraan gender, termasuk norma budaya yang mendukung dominasi laki-laki atas perempuan, merupakan faktor penting yang mempengaruhi kejadian pemerkosaan (Heise, 2011); 2)  Norma sosial yang membenarkan atau meremehkan kekerasan seksual dapat memberikan lingkungan yang memfasilitasi terjadinya pemerkosaan (World Health Organization, 2009); 3) Konstruksi maskulinitas yang menekankan kekuasaan, dominasi, dan kontrol dapat menjadi faktor yang mempengaruhi terjadinya pemerkosaan (Brecklin & Ullman, 2002); 4) Faktor individu seperti sikap yang meremehkan atau menjustifikasi kekerasan, masalah mental atau emosional, dan penggunaan alkohol atau obat-obatan dapat berkontribusi terhadap terjadinya pemerkosaan (Centers for Disease Control and Prevention, 2021); dan 5) Faktor lingkungan, seperti lingkungan yang memfasilitasi kekerasan atau rendahnya pengawasan sosial, dapat mempengaruhi terjadinya pemerkosaan. (Brecklin & Ullman, 2002).


Model Konseling

    Terdapat beberapa model konseling yang dapat digunakan untuk individu korban kekerasan seksual dan pemerkosaan, tergantung pada kebutuhan dan preferensi individu tersebut. Seperti Model konseling trauma-informed menyediakan lingkungan yang aman, mendukung, dan empatik bagi individu korban kekerasan seksual. Pendekatan ini mengakui dampak traumatis kekerasan seksual dan berfokus pada pemulihan, pemulihan diri, dan peningkatan kesejahteraan korban (Cloitre et al., 2012). Model konseling trauma-informed merupakan pendekatan yang memperhatikan efek traumatis dari kekerasan seksual dan mengintegrasikan pemahaman tentang trauma ke dalam proses konseling. Pendekatan ini mengutamakan keamanan, kepercayaan, dan otonomi korban, serta memperhatikan kebutuhan individu dalam proses pemulihan

    Kemudian Pendekatan Kognitif-Behavioral Therapy (CBT) yang berfokus pada mengidentifikasi dan mengubah pola pikir dan perilaku yang tidak sehat yang mungkin berkaitan dengan trauma kekerasan seksual. Tujuannya adalah membantu individu membangun keterampilan pengelolaan stres, mengurangi gejala trauma, dan meningkatkan kesejahteraan mental (Resick et al., 2003). Selanjutnya Pendekatan Trauma Recovery Approach yang berfokus pada pengakuan dan pemahaman terhadap dampak emosional dan psikologis dari kekerasan seksual. Konselor bekerja sama dengan individu untuk mengembangkan strategi pemulihan, mengurangi gejala trauma, dan membangun kembali kehidupan yang bermakna (Herman, 2015). Seterusnya Pendekatan Ekspresif-Kreatif (Expressive-Creative Approach) yang melibatkan penggunaan seni, musik, gerakan tubuh, atau penulisan kreatif sebagai alat untuk membantu individu mengekspresikan dan memproses pengalaman trauma kekerasan seksual. Ini dapat membantu dalam mengurangi gejala trauma, meningkatkan self-awareness, dan mendukung pemulihan (Perry, 2014)


Sumber:

Brecklin, L. R., & Ullman, S. E. (2002). The roles of victim and offender alcohol use in sexual assaults: results from the National Violence Against Women Survey. Journal of studies on alcohol63(1), 57-63.

Casey, E. A., & Masters, T. (2017). Sexual violence risk and protective factors: A systematic review of the literature. Washington: State Department of Health.

Centers for Disease Control and Prevention. (2021). Sexual Violence: Risk and Protective Factors. https://www.cdc.gov/violenceprevention/sexualviolence/riskprotectivefactors.html

Cloitre, M., Courtois, C. A., Ford, J. D., Green, B. L., Alexander, P., Briere, J., & Van der Hart, O. (2012). The ISTSS expert consensus treatment guidelines for complex PTSD in adults. https://www.istss.org/treating-trauma/new-istss-prevention-and-treatment-guidelines.aspx

DeKeseredy, W. S. (2011). Violence against women: Myths, facts, controversies. University of Toronto Press.

Edwards, K. M., Turchik, J. A., Dardis, C. M., Reynolds, N., & Gidycz, C. A. (2011). Rape myths: History, individual and institutional-level presence, and implications for change. Sex roles65, 761-773.

Flood, M., & Pease, B. (2009). Factors influencing attitudes to violence against women. Trauma, violence, & abuse10(2), 125-142.

Heise, L. (2011). What works to prevent partner violence? An evidence overview. STRIVE Research Consortium.

Herman, J. L. (2015). Trauma and recovery: The aftermath of violence--from domestic abuse to political terror. Hachette UK.

Katz, J. (2006). Macho Paradox: Why some men hurt women and and how all men can help. Sourcebooks, Inc..

Krantz, G., & Garcia-Moreno, C. (2005). Violence against women. Journal of Epidemiology & Community Health59(10), 818-821.

Mason, F., & Lodrick, Z. (2013). Psychological consequences of sexual assault. Best Practice & Research Clinical Obstetrics & Gynaecology27(1), 27-37.

Perry, B. D. (2014). Creative interventions with traumatized children. Guilford Publications.

Resick, P. A., Nishith, P., & Griffin, M. G. (2003). How well does cognitive-behavioral therapy treat symptoms of complex PTSD? An examination of child sexual abuse survivors within a clinical trial. CNS spectrums8(5), 340-355.

Tharp, A. T., DeGue, S., Valle, L. A., Brookmeyer, K. A., Massetti, G. M., & Matjasko, J. L. (2013). A systematic qualitative review of risk and protective factors for sexual violence perpetration. Trauma, Violence, & Abuse14(2), 133-167.

United Nations Office on Drugs and Crime. (2013). Global study on homicide 2013: trends, contexts, data. UNODC.

World Health Organization. (2009). Changing cultural and social norms that support violence. https://apps.who.int

World Health Organization. (2017). Violence against women: Key facts. World Health Organization. Last modified November29, 2017.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan bergabung ke MEMBERS CCI untuk dapat meninggalkan komentar sahabat.Terima Kasih!