A.
Kedudukan BK Keluarga dalam Bimbingan
dan Konseling
Adapun inti dari pelaksanaan konseling keluarga sebagai salah satu layanan
profesional dari seorang konselor didasari oleh asumsi dasar sebagai berikut:
1) Terjadinya perasaan kecewa, tertekan atau sakitnya
seorang anggota keluarga bukan hanya disebabkan oleh dirinya sendiri, melainkan
oleh interaksi yang tidak sehat dengan anggota keluarga yang lain.
2) Ketidak tahuan individu dalam keluarga tentang
peranannya dalam menjalani kehidupan keluarga.
3) Situasi hubungan suami-isteri dan antar keluarga
lainya.
4) Penyesuaian diri yang kurang sempurna dalam sebuah
keluarga sangat mempengaruhi situasi psikologis dalam keluarga
5) Konseling keluarga diharapkan mampu membantu keluarga
mencapai penyesuaian diri yang tinggi diantara seluruh anggota keluarga
6) Interaksi kedua orang tua sangat mempengaruhi hubungan
semua anggota keluarga. Hal ini dikemukakan oleh Perez (1979) menyatakan
sebagai berikut: “Family therapi is an interactive proses which seeks to aid
the family in regainnga homeostatic balance with all the members are
confortabl”..
Dari definisi di atas konseling keluarga merupakan suatu proses
interaktif untuk membantu keluarga dalam mencapai kondisi psikologis yang
serasi atau seimbang sehingga semua anggota keluarga bahagia. Ini berarti bahwa sebuah keluarga membutuhkan pendekatan yang beragam untuk
menyelesaikan masalah yang dialami oleh anggota keluarga. Rumusan di atas
memuat dua implikasi yaitu; terganggunya kondisi seorang anggota keluarga
merupakan hasil adaptasi/interaksi terhadap lingkungan yang sakit yang
diciptakan didalam keluarga. Kedua, seorang anggota keluarga yang mengalami
gangguan emosional akan mempengaruhi suasana dan interaksi anggota keluarga
yang lain, sehingga diupayakan pemberian bantuan melalui konseling keluarga.
Terlaksananya konseling keluarga akan membantu anggota keluarga mencapai
keseimbangan psiko dan psikis sehingga terwujudnya rasa bahagia dan kenyamanan
bagi semua anggota keluarga.
B.
Fungsi BK Keluarga.
Fungsi dari konseling keluarga pada hakikatnya merupakan layanan yang
bersifat profesional yang bertujuan untuk mencapai tujuan-tujuan sebagai
berikut:
1) Membantu anggota keluarga belajar dan memahami bahwa dinamika
keluarga merupakan hasil pengaruh hubungan antar anggota keluarga.
2) Membantu anggota keluarga dapat menerima kenyataan
bahwa bila salah satu anggota keluarga mengalami masalah, dia akan dapat
memberikan pengaruh, baik pada persepsi, harapan, maupun interaksi dengan
anggota keluarga yang lain.
3) Upaya melaksanakan konseling keluarga kepada anggota
keluarga dapat mengupayakan tumbuh dan berkembang suatu keseimbangan dalam
kehidupan berumah tangga.
4) Mengembangkan rasa penghargaan diri dari seluruh
anggota keluarga kepada anggota keluarga yang lain.
5) Membantu anggota keluarga mencapai kesehatan fisik
agar fungsi keluarga menjadi maksimal.
6) Membantu individu keluarga yang dalam keadaan sadar
tentang kondisi dirinya yang bermasalah, untuk mencapai pemahaman yang lebih
baik tentang dirinya sendiri dan nasibnya sehubungan dengan kehidupan
keluarganya.
Agar mampu mewujudkan tujuan-tujuan tersebut, maka
seorang konselor keluarga hendaknya memiliki kemampuan sebagai berikut:
1) Memiliki kemampuan berfikir cerdas, berwawasan yang
luas, serta komunikasi yang tangkas dengan penerapan moral yang laras dengan
penerapan teknik-teknik konseling yang tangkas
2) Etika professional, yakni kemampuan memahami dan
bertindak sesuai dengan kaidah-kaidah pelayanan konseling yang dipadukan dalam
hubungan pelayanan konseling terhadap anggota keluarga
3) Terlatih dan terampil dalam melaksanakan konseling
keluarga
4) Mampu menampilkan ciri-ciri karakter dan kepribadian
untuk menangani interaksi yang kompleks pasangan yang sedang konflik dan
mendapatkan latihan untuk memiliki keterampilan khusus.
5) Memiliki pengetahuan yang logis tentang hakikat
keluarga den kehidupan berkeluarga.
6) Memiliki jiwa yang terbuka dan fleksibel dalam
melaksanakan konseling keluarga.
7) Harus obyektif setiap saat dalam menelaah dan
menganalisa masalah
C.
Disfungsi Keluarga dan Pengaruhnya
Terhadap Perkembangan Anak.
Dadang Hawari (dalam Marwisni Hasan, 2006:26) mengemukakan bahwa keluarga
adalah organisasi bio-psikososial, di
mana pada anggotanya terikat dengan satu ikatan khusus untuk hidup bersama,
bukan suatu ikatan yang sifatnya statis (beku) dan membelenggu, namun suatu
ikatan dinamis (bergerak) yang memungkinkan para anggota keluarga itu
berkembang dan tumbuh.
Kelahiran anak-anak awalnya positif bagi keluarga yang tidak berfungsi (disfungsional).
Karena membawa kebanggaan dan sukacita. Seolah-olah problem mereka selama ini
menjadi berkurang dengan hadirnya anak. Mereka menjadi lupa pada problem
mereka. Namun setelah anak besar dan keluar rumah, problem mereka muncul
kembali. Jadi hanya terjadi pengalihan sementara.
Di sisi lain anak bisa membawa angin tak segar. Sebab anak menuntut
perhatian orang tua. Namun kalau orang tuanya masih bersifat anak-anak sulit
sulit mengasuh anak dengan baik. Malah sebaliknya si ayah dan ibu yang jadi
anak dan butuh perhatian.
Karena ketidakmampuan mengasuh anak banyak orang tua memberikan pengasuhan
anaknya pada baby sitter. Ironisnya anak yang dibesarkan baby sitter cenderung
punya perasaan juragan, sebab ia biasa memerintah di rumah. Setelah anak itu
besar dan menikah ia pun cenderung jadi juragan bagi pasangannya, sehingga
menjadi sumber masalah nantinya.
Waktu bersama anak bagai berlian yang hilang di era kita. Apa peran orang
tua bagi anak?
1) Membantu anak
menghadapi satu lingkungan yang membosankan, penuh kekerasan dan makin egois.
2) Mengajarkan anak
bagaimana berkata-kata dan bertindak dalam situasi tertentu. Misalnya bagaimana
menghadapi temannya yang suka kasar dan mengejek.
3) Mengajar anak
bagaimana dan kapan mengungkapkan emosinya secara asertif. Kita harus jadi
contoh dalam hal marah.
4) Beri anak
kesempatan untuk marah atau menangis, dan ambil ambil waktu bicara dengan dia
pribadi sesudah dia mengungkapkan emosinya.
Adanya anak tidak jarang akhirnya menambah pro-blem, meskipun ada di antara
orang tua yang berkata, “Saya hidup ini hanya demi anak saya saja.” Namun
sebenarnya itu disebabkan mereka sebagai suami dan istri sudah tidak dapat
hidup satu sama lain. Akhirnya mereka berharap anaklah yang membahagiakan
mereka. Akibatnya mereka sangat menuntut anak, supaya baik, taat, pintar,
berprestasi dan sebagainya. Ini sangat keliru. Seharusnya anak bertugas sebagai
anak, bukan sebagai pembahagia orang tua. Sebagian orang tua menginvestasikan hidupnya pada anak. Bekerja keras demi
anak. Namun harapannya salah. Mereka berharap dengan kerja keras, anak bisa
belajar di sekolah yang mahal. Uang tidak masalah (ini dimanfaatkan sebagian
sekolah). Tujuannya adalah agar si anak bisa kuliah di tempat yang baik, kerja
dapat gaji tinggi, dan bisa menguntungkan orang tua. Kalau prestasi anak tidak
seperti harapan orang tua, ayah atau ibu tentu akan sangat kecewa. Harapan ini
sangat kuat dalam banyak orangtua zaman ini
Sumber:
Sumber:
Julianto Simanjubtak. 2009. “Keluarga yang Disfungsi”. Yayasan Peduli Konseling Nusantara.
Marwisni Hasan. 2006. Bimbingan Konseling Keluarga. Padang: BK
FIP UNP
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan bergabung ke MEMBERS CCI untuk dapat meninggalkan komentar sahabat.Terima Kasih!